PEMULIAAN TANAMAN PULAI (Alstonia spp)

Disusun Oleh Suwandi

PENDAHULUAN

Latar belakang

Pulai (Alstonia spp.) sebagai tanaman yang dapat dimanfaatkan berupa kulit, daun dan kayunya bisa dipergunakan untuk; mainan anak-anak, papan gambar, bingkai gambar, kerajinan seperti topeng, kotak korek api, perabotan rumah tangga dan batang korek api. Pohon ini mulai dikhawatirkan keberadaannya di hutan alam, karena banyak penembangan liar yang tidak terkendalikan oleh pihak-pihak yang berwenang, jenis ini termasuk dalam famili/suku Apocynaceae, di indonesia dan juga di beberapa negara seperti; Papua New Guinea, Philipina, india, Vietnam, Malaisya, Afrika Barat, Burma dan Thailand, dikenal jenis-jenis Alstonia scholaris, Alstonia angustiloba, Alstonia spatulata, Alstonia congensis, Alstonia actinophylla dan Alstonia angustifolia.

Hampir seluruh wilayah di indonesia di tumbuhi oleh jenis pulai (Alstonia sp),diantarnya adalah: Kalimantan (Kalimantan Barat, Kalimantan Tengan dan Selatan), Sumatra (Sumtra Barat, Sumtra Utara, Sumtra Selatan, Aceh, Riau, Jambi dan Bengkulu), Jawa (Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengan dan Daerah Istimewa Yogyakarta).

Sedangkan di Pulau Dewata (Bali) pohon pulai dianggap keramat, sampai pohon pulai dibiarkan dipura mereka mencapai diameter 200 cm. Ada beberapa marga yang tumbuh di daerah darat/dataran tinggi, berbukit dengan ketinggian 1000 m dari permukaan laut. Diantaranya marga Alstonia scholaris, sebagaian dari masyarakat di indonesia menyebut marga scholaris yaitu Pulai gading, untuk sementara ini yang paling diminati masyarakat adalah pulai gading karena kayunya berserat halus dan tempat tumbuhnya pun tidak selalu di daerah rawa.

Melihat kondisi sebagaimana dalam uraian diatas, maka untuk mengembanhkan hutan tanaman pulai guna memenuhi permintaan kayu sebagai bahan baku industri, diperlukan penelitian yang berkesenambungan dari berbagai aspek terkait, seperti: Teknologi perbenihan Pemuliaan pohon, silvikultur intensif, Analisis Ekonomi/Pasar dan kajian sosial budaya.

Rumusan Masalah

Pengembangan hutan tanaman pulai sudah mendesak dilaksanakan karena permintaan kayu pulai untuk bahan baku industri sudah terbuka. Terkait dengan hal tersebut, maka pengadaan bibit dalam jumlah dan kualitas yang memadai sangat diperlukan. Sampai saat ini jenis pulai yang dapat di manfaatkan sangat terbatas, sehingga untuk mengembangkan hutan tanaman pulai di perlukan penelitian terpadu dari beberapa aspek terkait yang dilaksanakan secara berkesenambungan dengan menggunakan strategi yang tepat dan teknologi yang memadai.

Hipotesis

Penguasaan teknologi perbenihan, penerapan tehnik silvikultur yang baik dengan pendekatan sosial budaya serta pengembangan program Pemuliaan pohon induk untuk tanaman pulai yang tepat akan mempercepat terwujudnya tegakan pulai dengan kualitas yang baik sesuai dengan permintaan pasar.

Tujuan dan Sasaran

  1. Tujuan

    Mengembangkan hutan tanaman pulai untuk memenuhi permintaan kayu sebagai bahan baku industri.

  2. Sasaran
    1. Dikuasainya teknologi perbanyakan pulai dan peningkatan genetik pulai untuk pembangunan hutan tanaman dengan produktivitas tinggi.
    2. Didapatkanya informasi pasar dan nilai ekonomi serta aspek sosial budaya pengembangan hutan tanaman pulai.

RUANG LINGKUP

Penelitian dan pengembangan jenis pulai dilakukan untuk memenuhi permintaan bahan baku industri kayu dengan meningkatkan produktivitas tegakan yang dihasilkan. Keterbatasan sumber benih yang tersedia dan belum adanya sumber benih dengan kualitas yang tinggi, diperlukan serangkaian kegiatan yang mengacu pada potensi yang tersedia dan strategi yang dapat diterapkan untuk jenis pulai. Oleh kebutuhan bibit pulai sudah sangat mendesak, maka tahap awal yang harus dilaksanakan adalah penelitian teknologi perbanyakan secara generatif dan pembiakan vegetatif dari sumber benih yang sudah tersedia diikuti dengan konservasi ex-situ dan penelitian peningkatan produktivitas tanaman dengan memanfaatkan potensi genetik yang tersedia dihutan alam maupun tanaman.

Lingkup kegiatan penelitian yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan yang diharapkan, dengan strategi menguasai teknologi perbanyakan dan peningkatan genetik pulai untuk membangun hutan tanaman dengan produktivitas tinggi. Dengan strategi tersebut diharapkan dapat memberikan arah dengan konsekuen yang jelas dan saling terkait.

  1. Teknologi Perbenihan

Penelitian dilakukan untuk mengantisipasi kebutuhan bibit dalam jangka pendek dengan menggunakan materi yang ada. Paket teknologi perbenihan yang akan dilakukan adalah dalam rangka perbanyakan bibit secara generatif dan vegetatif untuk memperoleh bibit dalam jumlah yang memadai dengan sumber benih yang terbatas, sehingga materi yang digunakan belum berasal dari pohon-pohon induk yang terseleksi akan tetapi menggunakan bahan yang telah tersedia.

Penguasaan teknik perbanyakan secara generatif dan vegetatif sangat diperlukan sebagai dasar dalam pelaksanaan kegiatan penelitian tanaman pulai. Mengingat jenis tanaman pulai masih sangat sedikit informasi hasil penelitian dari aspek tersebut. Teknik yang dilakukan dalam rangka perbanyakan tanaman pulai ini meliputi teknik perbanyakan yang tepat untuk pembangunan populasi dasar dalam bentuk konservasi genetik ex-situ, populasi pemuliaan atau populasi uji, populasi propagasi untuk perbanyakan produksi benih dan produksi dalam bentuk materi tanaman.

B. Silvikultur

    Uji silvikultur dilaksanakan untuk mendapatkan informasi teknik silvikultur terbaik dalam mengoptimalkan pertumbuhan pulai pada beberapa kondisi lingkungan yang berbeda. Penelitian ini meliputi uji jarak tanam, persiapan lahan, perlakuan pruning, teknik pemeliharaan serta kegiatan teknik silvikultur yang lainnya. Dalam jangka panjang informasi teknik silvikultur ini sangat berguna dalam rangka mengoptimalkan potensi genetik hasil pemuliaan pohon setelah benih unggul dihasilkan dari populasi pemuliaan pada setiap generasi.

    C. Pemuliaan pohon

    Kegiatan penelitian pemuliaan pohon dilaksanakan untuk mendapatkan individu-individu superior dan mengetahui potensi genetik yang dimiliki oleh individu penyusun uji genetik yang akan digunakan sebagai materi hutan tanaman melalui populasi propagasi. Hasil pemuliaan akan digunakan sebagai materi uji genetik pada tahap berikutnya untuk meningkatkan produktivitas hutan tanaman. Kegiatan penelitian yang akan dilaksanakan dari aspek pemuliaan pohon adalah sebagai berikut:

1. Populasi Propagasi

Populasi perbanyakan diutamakan akan menggunakan metode generatif dan vegetatif makro. Selain mudah diaplikasikan di lapangan juga memberikan hasil yang baik serta dapat dilakukan dengan teknologi sederhana terutama untuk konsumsi pengembangan program hutan rakyat. Pada tahap awal, populasi propagasi dibangun dari materi yang belum diseleksi untuk dapat menghasilkan bibit dalam jumlah yang berlimpah dalam waktu yang relatif singkat tanpa bergantung lagi kepada hutan alam. Penguasaan teknik perbanyakan generatif dan vegetatif serta pembangunan populasi perbanyakan juga akan digunakan pada saat telah diperoleh benih hasil seleksi melalui uji keturunan pada tahap selanjutnya.

Populasi perbanyakan dapat dibangun dalam bentuk kebun benih semai, kebun benih klon atau kebun pangkas. Untuk dapat menghasilkan hal tersebut diperlukan teknik-teknik perbanyakan yang tepat sesuai peruntukannya agar dapat menghasilkan bibit dan tanaman yang baik.

2. Keragaman Genetik (pendekatan DNA)

Marker atau penanda molekuler merupakan suatu alat yang dapat digunakan untuk mendeteksi individu secara genetik (finger printing) untuk mengontrol kualitas tanaman, menentukan hubungan kekerabatan, analisis parental dan mengetahui tingkat perpindahan gen (gen flow) dalam usaha untuk memahami kualitas genetik tanaman. Informasi dalam distribusi variasi genetik juga dapat dimanfaatkan dalam usaha seleksi, pemuliaan dan konservasi tanaman kehutanan.

    Penelitian keragaman genetik pada jenis pulai dilakukan untuk mengetahui hubungan kekerabatan antar populasi dan individu didalam populasi. Informasi dari hasil analisis DNA ini akan digunakan sebagai dasar dalam penentuan strategi pemuliaan dan konservasi genetik pada jenis pulai. Langkah ini dimaksudkan untuk mengetahui; apakah masih terdapat keragaman genetik yang cukup untuk dilakukan seleksi melalui uji genetik, atau sistem apa yang tepat dikembangkan untuk jenis pulai dalam membangun uji genetik apabila terdapat informasi masih terdapat keragaman genetik pada jenis pulai. Dengan demikian, informasi hasil analisis DNA akan diperlukan dalam memperbaiki strategi yang pernah dibuat apabila terdapat informasi yang tidak sesuai dengan hipotesa sebelumnya.

3. Studi Phenologi

    Pengetahuan masa pembungaan dan pembuahan pulai sangat dibutuhkan dalam membangun uji genetik untuk menghasilkan benih unggul. Informasi waktu berbunga dan berbuah (kalender bunga dan buah) untuk jenis pulai akan sangat berguna pada saat dilakukan persilangan dalam strategi jangka panjang. Sedangkan dalam jangka pendek akan bermanfaat untuk mengetahui masa panen raya jenis pulai dan waktu koleksi yang tepat untuk uji genetik. Studi Phenologi akan dilaksanakan pada kebun konservasi ex-situ yang dibangun dari berbagai ekotipe hutan.

    Peningkatan genetik dapat dihasilkan melalui uji genetik yang dilaksanakan secara komprehensif dalam program pemuliaan pohon. Pada tahap awal, peningkatan genetik dalam rangka peningkatan kinerja suatu jenis tanaman dapat dilakukan melalui seleksi tingkat individu dari populasi alam untuk membangun sumber benih dalam jangka pendek. Individu-individu pohon dengan phenotipe bagus dipilih sebagai pohon induk untuk membangun sumber benih. Sedangkan dalam jangka menengah dapat dilakukan melalui serangkaian kegiatan uji keturunan dalam populasi pemuliaan.

    Uji keturunan merupakan uji atau populasi pemuliaan (breeding population) yang menjadi pusat kegiatan dari strategi pemuliaan suatu jenis. Populasi pemuliaan terdiri dari pohon-pohon terpilih dalam suatu seri uji keturunan dimana siklus seleksi dan penyilangan akan dilakukan berulang-ulang dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Keberhasilan dari strategi ini tergantung pada informasi parameter genetik yang dihasilkan dari sipat-sipat yang unggul serta metode yang diterapkan pada setiap tahapan. Seleksi. Adapun tujuan dari uji keturunan adalah untuk mendapatkan informasi potensi genetik dan individu superior untuk menghasilkan benih unggul. Uji keturunan dilaksanakan setelah mendapatkan informasi hasil analisis keragaman genetik yang dilakukan dengan pendekatan DNA.

EKONOMI

Beberapa informasi mengenai pasar hasil industri yang menggunakan bahan baku kayu pulai selama ini belum dipahami dengan baik. Hal ini sangat diperlukan dalam upaya percepatan pembangunan hutan tanaman yang memerlukan informasi pasar dalam negeri maupun pasar dunia dari industri yang menggunakan bahan baku jenis tersebut. Terkait dengan hal tersebut, diperlukan penelitian tentang kajian peluang pasar dan daya saing dalam perdagangan kayu pulai. Penelitian ini perlu dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui:

1). Kinerja pasar kayu pulai baik pasar dalam negeri maupun pasar dunia,

2). Peluang pasar kayu pulai yang tersedia dipasar dalam negeri maupun pasar

Dunia, dan

3). Daya saing kayu pulai sebagai substitusi kayu impor dan ekspor kayu sejenis

dan atau jenis lainnya untuk bahan baku industri di pasar dalam negeri maupun

pasar dunia

SOSIAL BUDAYA

Dalam pengembangan hutan tanaman pulai, di beberapa wilayah Indonesia masih mengalami kendala terutama terkait dengan anggapan masyarakat bahwa pohon pulai merupakan pohon keramat yang tidak boleh ditebang, disisi lain masyarakat setempat memerlukan bahan baku tersebut untuk industri kerajianan sebagai komoditi ekspor dan domestik. Kondisi demikian menyebabkan bahan baku tersebut didatangkan dari luar yang juga kondisinya sangat terbatas dengan harga yang relatif lebih tinggi karena memerlukan transportasi dan semakin langka. Kajian sosial ini dilakukan sebagai upaya pendekatan sosial budaya dalam pengembangan hutan tanaman pulai agar diperoleh solusi terbaik dalam mengembangkan jenis ini tanpa ada permasalahan dengan masyarakat.

PENUTUP

Dengan diadakannya suatu penelitian pemuliaan tanaman pulai diharapkan memberikan suatu kontribusi pengetahuan kepada kalayak ramai, terutama tentang jenis-jenis tanaman pulai yang ada di Indonesia, karena selama ini masih banyak masyarakat yang belum mengenal tentang tanaman pulai. Hanya orang tertentu saja yang tahu tentang tanaman pulai misalnya; pengusaha kerajinan topeng dibantul, Bali dan para pegawai kehutanan itupun belum tentu semua pegawai kehutanan mengetahui tanaman pulai.

Danu dan Nurhasybi. 1998. Dari Benih ke Penanaman Jelutung Untuk Hutan Tanaman Rawa Gambut. TEKNO BENIH Vol. III No. 1, 1998. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Balai Teknologi Perbenihan. Bogor

A. A. Hamdan, Moko. H. dan Suwandi. 2002. Efek Pemberian Pupuk Majemuk NPK Terhadap Pertumbuhan Bibit Shorea javanica K&V Asal Pucuk. Buletin Penelitian Pemuliaan Pohon. Vol. 6 No. 2, 2002 P3BPTH, Yogyakarta.

Anonim. 2006. Usulan Kegiatan Penelitian (UKP) 2006-2009 P3HT Bogor.

Fisika Mekanika Kayu

Di Susun Oleh Suwandi

  • Proses penyusunan penebalan dinding sel oleh Microfibril secara umum ada 2 yaitu :
    • Penebalan spiral

      Penebalan spiral dapat terjadi pada permukaan dalam lapisan dinding sekunder (S3) dalam trakeit sejumlah kayu daun jarum yang terbatas. Penebalan spiral relative lazim dalam kayu daun lebar yang mungkin terdapat dalam pembuluh, serabut dan beberapam sel jari-jari. Penabalan spiral adalah punggung-punggung microfibril yang terbentuk pada permukaan lapisan S3 dengan kejelasan yang berbeda-beda penebalan spiral dapat diklasifikasikan sebagai tak bercabang, bercabang, ( dalam kayu daun lebar dan kayu daun jarum) dan berkelok-kelok (hanya terdapat pada kayu daun lebar). Penebalan spiral cenderung mengikuti arah spiral microfibril lapisan S3 dan kerap kali arahnya jelas sejajar dengan arah mikrifibril dalam S3. penebalan spiral merupakan kelanjutan lapisan S3

    • Penebalan bergerigi

      Terdapat dalam trakeit-trakeit jari-jari kayu pinus dan merupakan penebalan secara gerigi apabila dilihat dibawah mikroskop

  • el-sel penyusun kayu daun jarum dan kayu daun lebar adalah sebagai berikut ;
    • Sel-sel penyusun pada kayu daun lebar
      • Sel Pembuluh
      • Sel serabut
      • Sel parenkem beruas
      • Sel Parenkem baris
    • Sel-sel penyusun pada kayu daun jarum
      • Sel trakeit longitudinal
      • Sel parenkem jari-jari
      • Sel trakeit jari-jari
      • Sel epitel
  • Ekstratif

    Kayu mungkin mengandung pelbagai bahan pengisi terutama bahan organik yang yang secara bersama-sama disebut bahan luar (extranous) atau ekstratif. Ekstratif tersusun atas pelbagai zat seperti damar, lemak, lilin, resin, gula, minyak, pati, alkaloid, zat warna dan tanin. Nama ekstratif didasarkan atas kemungkinan ekstrasi (pengeluaran/isolasi) zat-zat tersebut dengan air dingin/panas atau dengan pelarut organik netral seperti alkohol. Bensen, aseton, eter dan lain-lain. Kandungan ekstratif kayu 1-10%, bahkan jenis kayu tropika dapat mencapai 30% atau lebih. Bahan-bahan organik tertentu seperti garam-garam, kalsium dan silika, tidak larut dalam pelarut diatas, tetapi dipandang sebagai ekstratif karena tidak merupakan bagian dari dinding sel.

KEBUTUHAN KAYU SECARA NASIONAL 5 TAHUN TERAKHIR

Oleh Suwandi

  1. PENDAHULUAN

Secara umum industri kehutanan Indonesia (khususnya pengelolaan hutan alam) saat ini berada dalam kondisi yang “bergejolak dan penuh ketidak pastian” sehingga tidak heran bila sementara pihak mulai mengangkat isue “moratorium” dan menyebutnya sebagai “sunset industry”.

Melihat sejarahnya industri pengusahaan kayu bulat Indonesia bisa dilacak jauh ke belakang. Bahkan sejak kedatangan kolonialis Barat dari era abad ke 17 sampai 19 telah terjadi pengrusakan hutan jati di Jawa. Tahun 1743 terjadi kontrak karya antara VOC dengan Kerajaan Mataram yang menyebutkan seluruh jati adalah milik Kompeni sedangkan tanahnya tetap milik Kerajaan Mataram. Begitu juga di tahun 1849, Sultan Jogja diserahi hak mengelola hutan jati yang terletak di kesultanannya, namun karena sering terjadi penebangan tanpa ijin, maka pada tahun 1875 semua penebangan pohon harus seijin Pemerintah Hindia Belanda.

Tampaknya dalam upaya untuk menguasai seluruh lahan hutan yang ada, pemerintah di tahun 1870 menerbitkan UU Agraria “Agrariche Wet” yang mengatakan bahwa semua lahan yang tidak dibebani hak adalah milik negara. Bahkan UU No 5 Tentang Pokok-pokok Agraria Tahun 1960 juga tidak jauh berbeda dengan UU Agraria 1870. Ini adalah cikal bakal permasalahan pertanahan (dalam hal ini konflik sosial kehutanan) yang ada sampai saat ini. Bahkan UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia dan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sepertinya memberi peluang bagi pembagian hak dengan masyarakat setempat tetapi juga pada kenyataannya tidak semulus itu. Maka pertentangan antara pemerintah dengan masyarakat adat maupun tarik menarik kewenangan antara pemerintah pusat dengan PEMDA semakin menjadi-jadi.

  1. ANALISA KOSUMSI KAYU

Pembangunan industri kehutanan (wood based industry) di Indonesia didorong oleh upaya pencapaian tujuan pembangunan ekonomi meningkatkan penghasilan devisa melalui eksport, meningkatkan penciptaan lapangan kerja, dan mencapai nilai tambah. Industri kehutanan selalu dianggap sebagai sektor ekonomi utama yang mempunyai keunggulan comparative karena melimpahnya bahan baku dan upah buruh yang murah.

Akibat adanya persepsi keunggulan comparative itulah maka terlihat kecenderungan industri kehutanan Indonesia terus tumbuh dan berkembang. Kapasitas industri terpasang dari tahun ke tahun meningkat dengan pesat. Lihat Tabel di bawah ini. Kapasitas pabrik penggergajian kayu meningkat dari 8,8 juta m3 di tahun 1985 menjadi 11 juta m3 di tahun 2002. Pabrik plywood kapasitasnya relatif stabil di angka 9,4 juta m3, walaupun pernah melewati angka 10 juta m3 di tahun 1989 dan 1990. Walaupun demikian produksi dari industri penggergajian dan plywood memperlihatkan trend yang menurun. Kecuali industri pulp dan kertas, baik kapasitas industri terpasang maupun realisasi produksinya yang terlihat menaik.

Kondisi ini sebetulnya sudah menggambarkan realitas dimana produksi yang mengandalkan bahan baku kayu berukuran diameter besar dari hutan alam mulai berkurang, sedangkan industri yang tidak mengandalkan ukuran diameter kayu besar (yang bisa disupply dari kayu hutan tanaman dengan daur yang singkat) tetap terus tumbuh.

Kebutuhan akan bahan baku kayu dari tahun ke tahun semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pembangunanmasarakat, sedangkan areal hutan semakin menyusut, Menteri Kehutanan, M.S. Ka’ban, mengungkapkan, kebutuhan dunia atas bahan baku kayu pada tahun 2014 diperkirakan setidaknya mencapai 350 juta meter kubik per tahun. Permintaan bahan baku kayu itu diperkirakan cukup tinggi untuk memenuhi kebutuhan pabrik kertas, mebel, pertukangan, dan lainnya,

Menurut Harian Umum Pelita Online kebutuhan kayu secara Nasional diperkirakan mencapai 60 juta m3, pertahun, sedangkan dari departemen kehutanan memberi jatah produksi kayu secara nasional berdasarkan Keputusan Menteri kehutanan lima tahun terakhir sebagai berikut:

No.

Tahun

SK Menhut. No.

Kebutuhan Kayu Nasional

1

2005

SK. 207/Menhut-II/2004

5.456.570 m3

2

2006

SK.357/MENHUT-VI/2005

8.152.250 m3

3

2007

SK.72/Menhut-VI/2007

12.428.000 m3

4

2008

SK.388/Menhut-VI/2007

9.100.000 m3

5

2009

SK. 400/Menhut-II/2008

9.100.000 m3

Jika dilihat dari jatah produksi yang di berikan oleh pihak Departemen Kehutanan seperti yang tertera pada tabel diatas sepertinya kebutuhan kayu secara nasinal belumlah terpenuhi rata-rata per tahun jatah produksi hanyalah sekitar 8. 847.364 m3

  1. KESIMPULAN

Untuk mencapai kondisi ideal dunia kehutanan, ada beberapa hal yang bisa menjadi dasar pertimbangan dalam membuat kebijakan yang bisa mengontrol dan atau mengendalikan sisi penawaran maupun permintaan kayu.

Pasar kayu nasional merupakan pasar yang regulated, dimana pemerintah menentukan berapa besaran produksi (JPT) setiap tahunnya. Namun seperti juga di tempat yang lain, pasar tidak bisa didikte begitu saja. Bila konsumsi meningkat, sementara potensi untuk meningkatkan produksi ada, sedangkan sisi aturan dan penerapan hukum lemah, maka akan terjadi “perlawanan” pasar, dalam hal industri kehutanan, sebagai illegal logging. Jadi pengawasan atau kontrol illegal logging bisa dilakukan melalui pendekatan regulasi pasar. Tetapi harus dipahami bahwa ekuilibirum pasar merupakan kondisi sesaat yang bisa berubah setiap saat. Sehingga regulasipun harus siap melakukan antisipasi setiap saat. Tidak ada regulasi yang bertahan lama, kecuali akan segera menjadi ketinggalan jaman, karena pasar pasti akan segera melakukan perlawanan mencari keuntungan bagi

pelaku pasar.

REFRENSI

Kayu di DKI Dapat Menutup, Kebutuhan Nasional (2009) Harian Umum Pelita Online. http://www.pelita.or.id/baca.php?id=5425/tgl28-10-2009

Sumardjani Lisman, et all (2007) Analisa Kosumsi Kayu Nasional http://www.rimbawan.com/kkn/KKN_02mei07_a.pdf/ di download tgl 28-10-2009

Sk Menhut : http://portal.mahkamahkonstitusi.go.id/eLaw/mg58ufsc89hrsg/SK_72_2007.pdf/tgl 28-10-2009

http://groups.yahoo.com/group/lingkungan/message/22431/tgl 28-10-2009

http://www.aceh-eye.org/data_files/bahasa_format/indo_gov_bhs/indgovt_decrees/indgovt_decrees_2005_10_13_00.pdf/ tgl 28-10-2009

http://www.dephut.go.id/files/388_07.pdf/ tgl 28-10-2009

http://www.dephut.go.id/files/400_08.pdf/26-10-2009