Oleh:
Hamdan Adma Adinugraha1 dan Suwandi2
Balai Besar Pengujian Standar Instrumen Kehutanan Yogyakarta
Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau
Email: hamdan_adma@yahoo.co.id
I. PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT JABON DAN SENGON
Pengusahaan kayu rakyat dalam bentuk agroforestry telah berlangsung sejak puluhan tahun lalu, terutama di Jawa. Pada awalnya kayu dari hutan rakyat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri sebagai kayu bakar (90%) dan pertukangan (70%) dan belum menjadi komoditi komersial (Penelitian IPB, 1976; UGM, 1977). Namun dalam perkembangannya kayu rakyat mampu memenuhi kebutuhan industri pertukangan maupun mebel serta perkapalan baik di tingkat industri kecil, menengah maupun industri padat modal. Hutan rakyat saat ini terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, baik luasan maupun produksi kayunya. Khususnya di Jawa – Madura untuk kurun waktu 2003-2010 hutan rakyat berkembang sangat pesat. Luasan hutan rakyat pada tahun 2003 adalah ± 1,56 juta ha dengan potensi kayu ± 39,50 juta m3 dan pada tahun 2010 telah mencapai ± 2,80 juta ha dengan potensi standing stock sebesar sekitar 97,97 juta m3 (Pusat P2H 2010 dalam Yulianti, 2011).
Sengon dan jabon merupakan dua jenis yang banyak dikembangkan untuk hutan rakyat baik di Jawa maupun luar Jawa. Prospek penanaman pohon sengon sangat baik mengingat kebutuhan kayu sengon yang sangat besar, yaitu mencapai lebih dari 500.000 m3/tahunnya dengan harga yang terus meningkat. Pada tahun 2003,dilaporkan bahwa harga kayu sengon di pasaran mencapai Rp.250.000/m3. Hingga saat ini harga kayu sengon meningkat menjadi Rp.650.000/m3 atau lebih. Adanya jaminan pemasaran, baik didalam maupun diluar negeri dengan harga yang semakin tinggi sangat menguntungkan petani tanaman sengon. Para petani sengon pun tidak hanya mendapatkan keuntungan dari pohon sengon, petani juga memperoleh pendapatan dari palawija yang ditanam secara tumpangsari. Demikian pula jabon yang sekarang banyak dikembangkan dilaporkan harga jualnya per m3 jabon berumur 4 tahun mencapai Rp 716.000; umur 5 tahun, Rp 837.000, merupakan pilihan dalam pengembangan hutan rakyat.
Menurut Mansur (2013) untuk mendapatkan daya hidup dan pertumbuhan yang diharapkan, beberapa hal perlu diperhatikan dalam penanaman pohon jabon, yaitu: 1) tidak boleh di lahan bekas sawah atau sawah yang dikeringkan, atau lahan yang secara periodic tergenang. Pertumbuhan satu tahun pertama tampak tidak ada masalah, bahkan tanaman kelihatan subur, namun menginjak umur 1.5 tahun, tanaman akan meranggas dimana cabang-cabang bagian bawah akan rontok dan cabang berdaun hanya terkumpul di dekat pucuk. 2) demikian juga untuk lahan-lahan yang ekstrim kering. 3) ketinggian tempat dari muka laut sebaiknya kurang dari 500 dpl, 4) lahan tidak ternaungi, dan 5) jarak tanam sebaiknya tidak lebih rapat dari 3 x 3 m. Kondisi-kondisi tersebut tidak mematikan tanaman jabon, tetapi secara signifikan akan menurunkan pertumbuhannya.
Salah satu permasalahan dalam pengelolaan hutan rakyat adalah masyarakat belum melakukan intensifikasi hutan rakyat. Dalam hal ini, petani belum menggunakan bibit unggul dalam penanaman areal hutan rakyatnya. Selain itu, penanamannya pun biasanya tidak memperhatikan jarak tanam dan cenderung tidak dirawat secara khusus. Dalam kondisi demikian, kualitas batang yang dihasilkan cenderung kurang baik (Muslich dan Krisdianto, 2006). Sebagai contoh menurut Naie’m (2008) bahwa dalam rangka peningkatan kualitas kayu jati dari hutan rakyat perlu dilakukan upaya-upaya pengembangan sentuhan teknik silvikultur, peningkatan kualitas dan produktivitas hutan rakyat, peningkatan kualitas log muda hasil tebangan, pengembangan teknologi prosesing dan pemasaran dan sertifikasi hutan rakyat. Demikian pula untuk jenis sengon dan jabon, selain penggunaan bibit unggul, penerapan kegiatan pemupukan, prunning dan penjarangan sangat diperlukan.
II. STANDAR MUTU BIBIT JABON DAN SENGON
A. Standar Mutu Benih
Menurut Na’iem (2012) bahwa penilaian kualitas benih ditentukan oleh 3 komponen sebagai berikut: (1) aspek genetis: terkait dengan sifat keturunan dari mana benih tersebut dikumpulkan. Dalam hal ini sumber benih dapat berupa provenans (sumber geografik) maupun berupa ras lahan. (2) Aspek fisik dan mekanis: terkait dengan kondisi fisik biji/benih yang meliputi rusak/cacat/utuh, ukuran, warna, umur, kesehatan benih (terserang hama/pengakit). Aspek ini relatif mudah diamati dan sangat terkait dengan proses koleksi, penanganan dan proses penyimpanan benih. (3) Aspek fisiologis: terkait dengan kondisi biologis benih (misalnya struktur dan proses biokimia yang ada dalam benih) berhubungan dengan kemasakan benih saat koleksi dan kerusakan setelah koleksi, tidak mudah dideteksi secara kasat mata, tetapi melalui uji pengecambahan benih.
Standar mutu benih menurut aspek genetik berhubungan dengan kegiatan pemuliaan pohon dan menunjukkan tingkat kemurnian varietas benih atau tingkat keragaman genetik asal sumber benih tersebut. Mutu fisiologis benih menggambarkan kemampuan benih untuk dapat tumbuh dengan baik sekalipun disimpan dalam waktu yang relatif lama. Adapun mutu fisik dan mekanis mencerminkan kondisi fisik benih yaitu tingkat kebersihan, kesegaran butiran, keutuhan kulit dan kadar airnya. Standar mutu benih selanjutnya dibagi kedalam 4 kelas yaitu mutu A, B, C dan D yang layak edar. Kriteria daya berkecambah benih sengon mutu A (> 90%), B (80-89%), C (60-79%) dan D (50-69%), kadar air 9% dan memiliki tingkat kemurnian 90% (Danu et al., 2005). Adapun beradasarkan Peraturan Dirjen RLPS No. P.06/V-Set/2009, standar mutu benih sengon dan jabon disajikan pada Tabel 2 di bawah ini.
B. Standar Mutu Bibit
Standar mutu bibit juga didasarkan atas hasil penilaian mutu fisik, mutu fisiologis dan mutu genetiknya. Mutu fisik dan fisiologis menunjukkan kondisi fisik dan kesehatan bibit yang meliputi kondisi media, batang (tunggal, utuh, berkayu), tingkat kekokohan, daun, pertumbuhan bibit (tinggi dan diameter batang). Berdasarkan SNI mutu bibit yang telah diterbitkan Pusat Standardisasi dan Lingkungan, disyaratkan bahwa syarat mutu bibit meliputi (1) syarat umum yang mencakup keharusan bibit berasal dari sumber benih berkualitas dan (2) syarat khusus yang didasarkan pada kondisi bibit : kekompakan media, tinggi bibit, diameter batang bibit, nilai kekokohan bibit, jumlah daun dan warna daun. Mutu bibit dibagi menjadi 2 kelas yaitu mutu pertama (P) dan mutu kedua (D). Menurut SNI 8420:2018 dijelaskan mutu bibit kedua jenis tersebut dan beberapa jenis cepat tumbuh lainnya sebagai berikut:
III. PENUTUP
Pengembangan hutan rakyat merupakan alternatif yang sangat potensial dan menguntungkan untuk memenuhi kebutuhan kayu nasional yang terus meningkat. Untuk meningkatkan produktivitas hutan rakyat maka perlu dilakukan perbaikan dalam mengelola hutan rakyat yang dimulai dengan pengadaan materi tanaman yang berkualitas, persiapan lahan yang baik dan pemeliharaan tegakan yang tepat. Penggunaan bibit unggul saja tidak akan menghasilkan pertumbuhan tegakan yang optimal apabila tidak dilakukan persiapan lahan dan pemeliharaan tanaman yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Mansur, I. 2013. Prospek Pengembangan Jabon Untuk Mendukung Pengembangan Hutan Tanaman. Makalah seminar dan Pameran Hasil‐hasil Penelitian dengan Tema Prospek Pengembangan Hutan Tanaman (Rakyat), Konservasi, dan Rehabilitasi Hutan”, di Manado 23 Oktober 2013.
Mansur, I. dan FD. Tuheteru, 2010. Kayu Jabon. Penebar Swadaya. Jakarta
Muslich, M. dan Krisdianto. 2006. Upaya Peningkatan Kualitas Kayu Hutan Rakyat Sebagai Bahan baku Industri. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006: 110-129.
Na’iem, M. 2008. Peran Hutan Tanaman Pada Fungsi Ekologi dan Keberlanjutan Sosial Ekonomi. Makalah Seminar dan Lokakarya: Peran Hutan Tanaman dan Perjalanan Negara. Fakultas Hukum UNISBA di Bandung 15 Oktober 2008.
Na’iem, M. 2012. Aspek Ilmiah Pembangunan Sumber Benih untuk Mendukung Kebijakan Penanaman Satu Milyar Pohon. Prosiding Seminar Nasional Pembangunan Sumber Benih. Tema : Peran Sumber Benih Unggul dalam Mendukung Keberhasilan Penanaman Satu Milyar Pohon, 30 Juni 2011. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta.
Yulianti. 2011. Strategi Pengembangan Sumber Benih Mindi (Melia azedarach L.) Pada Hutan Rakyat di Jawa Barat. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan
Filed under: Artikel | Komentar Dinonaktifkan pada STANDAR MUTU BENIH DAN BIBIT SENGON DAN JABON UNTUK PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.