STANDAR MUTU BENIH DAN BIBIT SENGON DAN JABON UNTUK PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT

Oleh:

Hamdan Adma Adinugraha1 dan Suwandi2

Balai Besar Pengujian Standar Instrumen Kehutanan Yogyakarta

Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau

Email: hamdan_adma@yahoo.co.id

I. PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT JABON DAN SENGON

Pengusahaan kayu rakyat dalam bentuk agroforestry telah berlangsung sejak puluhan tahun lalu, terutama di Jawa. Pada awalnya kayu dari hutan rakyat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri sebagai kayu bakar (90%) dan pertukangan (70%) dan belum menjadi komoditi komersial (Penelitian IPB, 1976; UGM, 1977). Namun dalam perkembangannya kayu rakyat mampu memenuhi kebutuhan industri pertukangan maupun mebel serta perkapalan baik di tingkat industri kecil, menengah maupun industri padat modal. Hutan rakyat saat ini terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, baik  luasan maupun produksi kayunya. Khususnya di Jawa – Madura untuk kurun waktu 2003-2010 hutan rakyat berkembang sangat pesat. Luasan hutan rakyat pada tahun 2003 adalah ± 1,56 juta ha dengan potensi kayu ± 39,50 juta m3 dan pada tahun 2010 telah mencapai ± 2,80 juta ha dengan potensi standing stock sebesar sekitar 97,97 juta m3 (Pusat P2H 2010 dalam Yulianti, 2011).

Sengon dan jabon merupakan dua jenis yang banyak dikembangkan untuk hutan rakyat baik di Jawa maupun luar Jawa.  Prospek penanaman pohon sengon sangat baik mengingat kebutuhan kayu sengon yang sangat besar, yaitu mencapai lebih dari 500.000 m3/tahunnya dengan harga yang terus meningkat. Pada tahun 2003,dilaporkan bahwa harga kayu sengon di pasaran mencapai Rp.250.000/m3. Hingga saat ini harga kayu sengon meningkat menjadi Rp.650.000/m3 atau lebih. Adanya jaminan pemasaran, baik didalam maupun diluar negeri dengan harga yang semakin tinggi sangat menguntungkan petani tanaman sengon. Para petani sengon pun tidak hanya mendapatkan keuntungan dari pohon sengon, petani juga memperoleh pendapatan dari palawija yang ditanam secara tumpangsari. Demikian pula jabon yang sekarang banyak dikembangkan dilaporkan harga jualnya per m3 jabon berumur 4 tahun mencapai Rp 716.000; umur 5 tahun, Rp 837.000, merupakan pilihan dalam pengembangan hutan rakyat.

Menurut Mansur (2013) untuk mendapatkan daya hidup dan pertumbuhan yang diharapkan, beberapa hal perlu diperhatikan dalam penanaman pohon jabon, yaitu: 1) tidak boleh di lahan bekas sawah atau sawah yang dikeringkan, atau lahan yang secara periodic tergenang. Pertumbuhan satu tahun pertama tampak tidak ada masalah, bahkan tanaman kelihatan subur, namun menginjak umur 1.5 tahun, tanaman akan meranggas dimana cabang-cabang bagian bawah akan rontok dan cabang berdaun hanya terkumpul di dekat pucuk. 2) demikian juga untuk lahan-lahan yang ekstrim kering. 3) ketinggian tempat dari muka laut sebaiknya kurang dari 500 dpl, 4) lahan tidak ternaungi, dan 5) jarak tanam sebaiknya tidak lebih rapat dari 3 x 3 m. Kondisi-kondisi tersebut tidak mematikan tanaman jabon, tetapi secara signifikan akan menurunkan pertumbuhannya.

Salah satu permasalahan dalam pengelolaan hutan rakyat adalah masyarakat belum melakukan intensifikasi hutan rakyat. Dalam hal ini, petani belum menggunakan bibit unggul dalam penanaman areal hutan rakyatnya. Selain itu, penanamannya pun biasanya tidak memperhatikan jarak tanam dan cenderung tidak dirawat secara khusus. Dalam kondisi demikian, kualitas batang yang dihasilkan cenderung kurang baik (Muslich dan Krisdianto, 2006). Sebagai contoh menurut Naie’m (2008) bahwa dalam rangka peningkatan kualitas kayu jati dari hutan rakyat perlu dilakukan upaya-upaya pengembangan sentuhan teknik silvikultur, peningkatan kualitas dan produktivitas hutan rakyat, peningkatan kualitas log muda hasil tebangan, pengembangan teknologi prosesing dan pemasaran dan sertifikasi hutan rakyat. Demikian pula untuk jenis sengon dan jabon, selain penggunaan bibit unggul, penerapan kegiatan pemupukan, prunning dan penjarangan sangat diperlukan.

II. STANDAR MUTU BIBIT JABON DAN SENGON

A. Standar Mutu Benih

Menurut Na’iem (2012) bahwa penilaian kualitas benih ditentukan oleh 3 komponen sebagai berikut: (1) aspek genetis: terkait dengan sifat keturunan dari mana benih tersebut dikumpulkan. Dalam hal ini sumber benih dapat berupa provenans (sumber geografik) maupun berupa ras lahan. (2) Aspek fisik dan mekanis:  terkait dengan kondisi fisik biji/benih yang meliputi rusak/cacat/utuh, ukuran, warna, umur, kesehatan benih (terserang hama/pengakit). Aspek ini relatif mudah diamati dan sangat terkait dengan proses koleksi, penanganan dan proses penyimpanan benih. (3) Aspek fisiologis: terkait dengan kondisi biologis benih (misalnya struktur dan proses biokimia yang ada dalam benih) berhubungan dengan kemasakan benih saat koleksi dan kerusakan setelah koleksi, tidak mudah dideteksi secara kasat mata, tetapi melalui uji pengecambahan benih.

Standar mutu benih menurut aspek genetik berhubungan dengan kegiatan pemuliaan pohon dan menunjukkan tingkat kemurnian varietas benih atau tingkat keragaman genetik asal sumber benih tersebut. Mutu fisiologis benih menggambarkan kemampuan benih untuk dapat tumbuh dengan baik sekalipun disimpan dalam waktu yang relatif lama. Adapun mutu fisik dan mekanis mencerminkan kondisi fisik benih yaitu tingkat kebersihan, kesegaran butiran, keutuhan kulit dan kadar airnya. Standar mutu benih selanjutnya dibagi kedalam 4 kelas yaitu mutu A, B, C dan D yang layak edar. Kriteria daya berkecambah benih sengon mutu A (> 90%), B (80-89%), C (60-79%) dan D (50-69%), kadar air 9% dan memiliki tingkat kemurnian 90% (Danu et al., 2005). Adapun beradasarkan Peraturan Dirjen RLPS No. P.06/V-Set/2009, standar mutu benih sengon dan jabon disajikan pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 1. Standar mutu benih jabon dan sengon

B. Standar Mutu Bibit

Standar mutu bibit juga didasarkan atas hasil penilaian mutu fisik, mutu fisiologis dan mutu genetiknya. Mutu fisik dan fisiologis menunjukkan kondisi fisik dan kesehatan bibit yang meliputi kondisi media, batang (tunggal, utuh, berkayu), tingkat kekokohan, daun, pertumbuhan bibit (tinggi dan diameter batang). Berdasarkan SNI mutu bibit yang telah diterbitkan Pusat Standardisasi dan Lingkungan, disyaratkan bahwa syarat mutu bibit meliputi (1) syarat umum yang mencakup keharusan bibit berasal dari sumber benih berkualitas  dan (2) syarat khusus yang didasarkan pada kondisi bibit : kekompakan media, tinggi bibit, diameter batang bibit, nilai kekokohan bibit, jumlah daun dan warna daun. Mutu bibit dibagi menjadi 2 kelas yaitu mutu pertama (P) dan mutu kedua (D). Menurut SNI 8420:2018 dijelaskan mutu bibit kedua jenis tersebut dan beberapa jenis cepat tumbuh lainnya sebagai berikut:

Tabel 2. Standar mutu bibit jabon dan beberapa jenis  tanaman cepat tumbuh lainnya (Sumber: SNI 8420:2018)

III. PENUTUP

Pengembangan hutan rakyat merupakan alternatif yang sangat potensial dan menguntungkan untuk memenuhi kebutuhan kayu nasional yang terus meningkat. Untuk meningkatkan produktivitas hutan rakyat maka perlu dilakukan perbaikan dalam mengelola hutan rakyat yang dimulai dengan pengadaan materi tanaman yang berkualitas, persiapan lahan yang baik dan pemeliharaan tegakan yang tepat. Penggunaan bibit unggul saja tidak akan menghasilkan pertumbuhan tegakan yang optimal apabila tidak dilakukan persiapan lahan dan pemeliharaan tanaman yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA

Mansur, I. 2013. Prospek Pengembangan Jabon Untuk Mendukung Pengembangan Hutan Tanaman. Makalah seminar dan Pameran Hasil‐hasil Penelitian dengan Tema Prospek Pengembangan Hutan Tanaman (Rakyat), Konservasi, dan Rehabilitasi Hutan”, di Manado 23 Oktober 2013.

Mansur, I. dan FD. Tuheteru, 2010. Kayu Jabon. Penebar Swadaya. Jakarta

Muslich, M. dan Krisdianto. 2006. Upaya Peningkatan Kualitas Kayu Hutan Rakyat Sebagai Bahan baku Industri. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006: 110-129.

Na’iem, M. 2008. Peran Hutan Tanaman Pada Fungsi Ekologi dan Keberlanjutan Sosial Ekonomi. Makalah Seminar dan Lokakarya: Peran Hutan Tanaman dan Perjalanan Negara. Fakultas Hukum UNISBA di Bandung 15 Oktober 2008.

Na’iem, M. 2012. Aspek Ilmiah Pembangunan Sumber Benih untuk Mendukung Kebijakan Penanaman Satu Milyar Pohon. Prosiding Seminar Nasional Pembangunan Sumber Benih.  Tema : Peran Sumber Benih Unggul dalam Mendukung Keberhasilan Penanaman Satu Milyar Pohon, 30 Juni 2011. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta.

Yulianti. 2011. Strategi Pengembangan Sumber Benih Mindi (Melia azedarach L.) Pada Hutan Rakyat di Jawa Barat. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan

SERI PEMBIBITAN TANAMAN HUTAN SECARA VEGETATIF:Teknik Stek Batang Tanaman Sukun

Hamdan Adma Adinugraha
Balai Besar Pengujian Standarisasi Instrumen Kehutanan (BBPSIK)
Jalan Palagan Tentara Pelajar km. 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman Yogyakarta

I. PENDAHULUAN

Pembibitan sukun hanya dapat dilakukan secara vegetatif karena buah tanaman sukun tidak menghasilkan biji (partinocarpi). Teknik pembibitan sukun secara sederhana telah lama dilakukan yaitu dengan cara memindahkan tunas akar alami, mencangkok, menanam atau mengubur akar sepanjang ± 1 meter  dan setelah tumbuh tunas dipotong menjadi beberapa bagian tergantung banyaknya tunas yang muncul. Cara lainnya yang lebih banyak menghasilkan bibit adalah dengan teknik stek akar dan stek pucuk (Pitojo, 1992; Adinugraha at al, 2004). Akan tetapi terdapat kendala para petani bibit sukun yaitu kesulitan dalam menyediakan  akar sukun yang baik untuk bahan perbanyakan karena banyaknya pohon induk sukun yang ditebang. Oleh karena itu pengembangan teknik  pembibitan sukun perlu terus dilakukan. Biasanya di persemaian terdapat sejumlah bibit yang belum ditanam atau belum laku terjual sehingga apabila dibiarkan akan tumbuh besar, maka untuk memanfaatkan bibit kedaluarsa yang terdaopat di persemaian diperlukan penerapan teknik stek batang. Beberapa laporan menunjukkan bahwa batang bibit sukun apabila ditanam dengan cara yang tepat dapat tumbuh menjadi bibit sukun baru (Susiloadi & Budiyanti, 2016). Diharapkan dengan penerapan teknik stek batang dapat dihasilkan jumlah bibit yang memadai untuk penyediaan bahan tanaman yang berkualitas.

II. PEMBUATAN STEK BATANG SUKUN

1. Penyiapan media di persemaian

Penyiapan media stek menggunakan pasir sungai yang halus yang dimasukkan kedalam polybag dan selanjutnya disusun dalam bedengan persemaian. Media pasir tersebut hanya digunakan selama tahap pengakaran stek sehingga setelah tumbuh dengan baik maka stek harus disapih ke media pertumbuhan yang berupa campuran tanah dan kompos dengan perbandingan 3:1.

2. Penyiapan bahan tanaman dan pembuatan stek batang

Pembuatan stek batang sukun dapat memanfaatkan batang trubusan alami yang tumbuh di bawah pohon induk sukun atau bagian batang bibit sukun yang terdapat di persemaian. satu batang sukun dapat dibuat menjadi beberapa bagian stek yang panjangnya rata-rata 15-25 cm (Ariefin et al, 2021). Stek batang dari bagian pangkal dan tengah batang tidak berdaun sedangkan stek dari bagian ujung batang dikurangi daun-daunnya seperti tampak pada Gambar 1A.

3. Penanaman stek

Penanaman stek batang dilakukan pada media yang sudah disiapkan dan diberi lubang tanam terlebih dahulu. Sebelum ditanam bagian pangkal stek batang dicelupkan kedalam larutan ZPT dengan konsentrasi larutan sekitar 50% selama 5-10 menit. Kedalaman penanaman sekitar 5 cm sampai 1/3 bagian stek batang (Gambar 1B). Setelah semua stek ditanam, selanjutnya dilakukan penyiraman sampai merata dan bedengan ditutup dengan sungkup plastik.

Gambar 1. Tahapan pembibitan stek batang sukun di persemaian

4. Pemberian sungkup plastik

Penanaman stek batang sukun dilakukan pada bedengan yang diberi sungkup plastik dengan rangka dari bahan bambu, untuk menjaga kelembaban udara yang tinggi dan relatif stabil yaitu sekitar 80%. Kelembaban yang tinggi sangat penting untuk mendapatkan keberhasilan tumbuh stek yang baik (Kantarli, 1993).

5. Pemeliharaan dan pengamatan

Bibit stek batang yang sudah ditanam dalam bedengan sungkup, dipelihara secara rutin baik penyiraman maupun perlindungan dari gulma, hama dan penyakit yang dapat menyebabkan kematian stek. Bibit stek yang sudah tumbuh lebih dari 2 bualn dapat disapih ke media pertumbuhan yang disusun pada bedengan terbuka/tanpa disungkup (Gambar 2), setelah sebelumnya dilakukan aklimatisasi dengan kondisi udara terbuka yang dilakukan dengan cara membuka sungkup plastik secara bertahap.

Gambar 2. Bibit stek batang sukun yang sudah disapih di bedengan terbuka

III. PEMELIHARAAN BIBIT DI PERSEMAIAN

Untuk mendapatkan pertumbuhan bibit yang baik, maka harus dilakukan pemeliharaan bibit dengan baik. Kegiatan pemeliharaan bibit secara rutin yang dilakukan di persemaian pada umumnya sama dengan kegiatan pemeliharaan bibit stek akar dan stek pucuk sukun, yaitu:

  1. Penyiraman rutin minimal satu kali sehari pada waktu pagi atau sore hari.
  2. Pada umur 2-3 bulan, stek akar sudah tumbuh dengan baik baik pertunasan maupun perakarannya, maka secara bertahap sungkup dibuka agar bibit stek akar dapat beradaptasi dengan kondisi udara tempat terbuka. Setelah bibit mampu beradaptasi dengan baik yang ditandai dengan kondisi bibit tetap segar/tidak layu setelah sungkup dibuka seluruhnya, maka dapat dilakukan penyaphan bibit ke media pertumbuhan yang telah disipkan sebelumya.
  3. Pembersihan gulma perlu dilakukan baik yang tumbuh pada media dalam polybag maupun disekitar bedengan.
  4. Pemupukan bibit stek akar dilakukan setelah disapih ke media pertumbuhan umumnya menggunakan pupuk NPK dengan dosis 1-2 gram per polibag.
  5. Selama pembibitan berlangsung biasanya terjadi gangguan hama serangga pemakan daun dan siput/bekicot pemakan tunas-tunas muda. Oleh karena itu penting dilakukan pemberantasan secara periodik baiksecara manual untuk mencegah kerusakan bibit yang parah, dengan cara menangkap jenis hama pengganggu yang ditemukan. Jenis gangguan lainnya yang sring terjadui adalah penyakit layau semai/lodoh yang disebabkan jamur maka apabila terjadi gejala serangan bibit yang terkena penyakit dibuang dan dilakukan penyemprotan fungisida semingu sekali.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa keberhasilan tumbuh stek batan sukun sangat baik yaitu dapat mencapai 76-08,5% sebagaimana disajikan pada Gambar 3. Dalam rangka mengahsilkan bibit sukun secara masal, maka dapat ditempuh dengan menerapkan teknik pembibitan stek akar, stek pucuk dan stek batang yang dilakukan secara simultan. Dengan cara ini maka kesulitan petani produsen bibit sukun dalam mencari akar sukun untuk bahan perbanyakan tanaman sukun dapat diatasi. Meskipun jumlah akar yang diperoleh terbatas, namun kegiatan produksi bibit sukun dapatr terus dilakukan sepanjang tahun dan dapat dihasilkan jumlah bibit yang relatif banyak (Adinugraha, 2019).

Gambar 3. Persentase hidup stek batang umur 2 bulan
( sumber: Adinugraha & Wahyuningtyas, 2018)

IV. PENUTUP

Tanaman sukun dapat dikembangbiakan dengan cara stek batang dengan keberhasilan tumbuh nyang baik. Dengan demikian permasalahan terbatasnya akar sukun yang baik tidak menjadikan hambatan dalam pembibitan sukun karena dapat memanfaatkan batang bibit sukun yang tersedia di persemaian dan diperbanyak menjadi bibit yang baru dalam jumlah yang lebih banyak.

DAFTAR PUSTAKA

Adinugraha, H.A. 2019. Metode berinput rendah untuk perbanyakan masal tanaman sukun secara klonal. Informasi Teknis vol. 17 hal:1-8.
Adinugraha, H.A., Moko, H. & Cepi. Pertumbuhan Stek Pucuk Sukun Asal Dari Populasi Nusa Tenggara Barat Dengan Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol. 3 (2): 93-100
Adinugraha, H.A. & Wahyuningtyas, R.S. 2018. Pertumbuhan stek batang sukun dari lima populasi sebaran. Prosiding Seminar Nasional Silvikultur V di Banjarbaru, Kalimantan Selatan.
Ariefin, N.M., Adinugraha, H.A., Basuki & Sriletari, R. 2021. Seminar Nasional Universitas Sebelas Maret Surakarta, Jawa Tengah.
Kantarli, M. 1993. Vegetative propagation of Dipterocarpaceae by cuttings in ASEAN regions. ASEAN-Canada Forest Tree Seed Centre Project. Thailand.
Pitojo. S. 1992. Budidaya Sukun. Penerbit Kanisius. Yogyakarta
Susiloadi, A.& Budiyanti, T. 2016. Perbanyakan Benih Sukun Menggunakan Stek batang. AgroInovasi. Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Seri Pembibitan Tanaman Hutan Secara Vegetatif:TEKNIK STEK PUCUK TANAMAN SUKUN

Hamdan Adma Adinugraha1 dan Suwandi2
1) Penyuluh Kehutanan pada Balai Besar Pengujian Standar Instrumen Kehutanan
2) Pengendali Ekosistem Hutan pada Balai Konservasi Sumber Daya Alam Pekanbaru

I. PENDAHULUAN

Jenis tanaman sukun merupakan salah satu tanaman keras/tanaman kehutanan yang mempunyai nilai ekonomis karena menghasilkan buah yang memiliki kandungan gizi yang tinggi sehingga potensial untuk dikembangkan sebagai komoditas penghasil sumber pangan bagi masyarakat. Disamping itu terdapat kegunaan lainnya yaitu batang pohon sukun dapat dimanfaatkan untuk bahan bangunan maupun papan kayu yang kemudian dikilapkan (Heyne, 1987; Pitojo, 1992; Rajendran, 1992; Ragone, 1997). Sukun merupakan sumber bahan pangan potensial pada masa mendatang terutama dalam mendukung program keanekaragaman pangan (Widowati, 2003). Jenis ini telah ditetapkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan RI sebagai salah satu jenis prioritas untuk diteliti mengingat potensinya yang sangat bermanfaat bagi masyarakat.
Sukun merupakan jenis tanaman partinocarpy atau tidak memiliki biji dalam buahnya sehingga pembibitannya hanya dilakukan secara vegetatif. Teknik pembibitan sukun mengalami perkembangan mulai dari cara sederhana sampai yang memerlukan biaya cukup mahal. Beberapa teknik yang sudah biasa dilakukan oleh masayarakat yaitu penyapihan tunas akar alami, pencangkokan, penempelan tunas (okulasi) dan stek akar. Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa teknik stek pucuk cukup prospektif untuk dikembangkan dalam pembibitan sukun. Cara ini relatif mudah dilakukan dengan biaya dana fasilitas pembibitan yang murah (low technology) sehingga bisa diterapkan oleh para petani bibit (Adinugraha et al, 2004).

II. PEMBUATAN STEK PUCUK SUKUN

Pembuatan bibit sukun dengan teknik stek pucuk dapat dilakukan dirumah kaca atau dalam bedengan di persemaian, dengan tahapan kegiatan sebagai berikut :

  1. Penyiapan media stek pucuk berupa pasir sungai yang disterilkan dengan cara pemanasan baik penjemuran selama satu minggu atau dengan cara penggorengan. Media tersebut kemudian dimasukkan kedalam polibag berukuran 13 x 8 cm dan disusun dalam bedengan persemaian yang ditutup dengan sungkup plastik untuk memelihara kelembaban udara lebih dari 80%. Untuk mengurangi intensitas cahaya kedalam bedengan perlu diberi naungan paranet dengan intensitas 65% (Longman, 1993).
  2. Penyiapan bahan stek pucuk berupa tunas-tunas yang tumbuh pada stek akar. Tunas dipilih yang berukuran relatif seragam kemudian dipangkas pada bagian pangkalnya. Satu tunas dapat dipotong menjadi 2 – 3 bagian (potongan ujung/pucuk, tengah dan potongan kedua/pangkal). Potongan pertama dibuang beberapa helai daun pada bagian pangkal dan bagian ujung tetap utuh. Sedangkan pada potongan kedua disisakan dua helai daun. Semua daun yang ada dipotong setengah bagian (Gambar 1).
Gambar 1. Pembuatan stek pucuk dari trubusan stek akar
Gambar 2. Pembuatan stek pucuk dari trubusan tanaman pangkasan

Selain itu bahan stek pucuk sukun dapat menggunakan trubusan yang tumbuh pada tanaman pangkasan. Bibit sukun yang sudah cukup besar dipangkas untuk menghasilkan tunas-tunas lateral yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan stek pucuk sebagaimana disajikan pada Gambar 2 (Setiadi & Adinugraha, 2005).

  1. Penyiapan larutan zat pengatur tumbuh (ZPT) untuk merangsang pertumbuhan akar stek. Hormon yang dapat digunakan dan mudah diperoleh dipasaran adalah Rhizatun dan Rootone F. Konsentrasi hormon yang dibuat sekitar 50 %. Sebelum ditanam bagian pangkal stek pucuk dicelupkan kedalam larutan ZPT selama 5 menit.
  2. Penanaman stek dilakukan dengan posisi tegak pada media yang telah disiapkan dan sebelumnya telah dibuat lubang tanam untuk memudahkan penanaman agar tidak merusak jaringan stek. Kedalaman penanaman sekitar 2 – 5 cm, tergantung dari panjang stek.
  3. Setelah semua stek ditanam, segera dilakukan penyiraman dan bedengan ditutup sungkup plastik transparan untuk mengatur kelembaban udara. Penyiraman stek dilakukan 1-2 kali sehari (pagi jam 08.00 dan atau sore jam 15.00 WIB). Selain penyiraman secara rutin, juga dilakukan pembersihan bedengan dari gulma yang tumbuh.

III. PEMELIHARAAN BIBIT

Kegiatan pemeliharaan bibit stek pucuk selama di persemaian sangat perlu dilakukan agar diperoleh pertumbuhan bibit yang baik. Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan meliputi:

  1. Penyiraman secara rutin dan pembersihan rumput yang tumbuh pada polibag atau disekitar bedengan. Kebersihan di sekitar bedengan perlu diperhatikan untuk memudahkan dalam pencegahan hama bekicot yang sering menyerang bibit.
  2. Pemberantasan hama atau penyakit perlu dilakukan apabila terdapat gejala serangan pada stek pucuk yang ditanam. Penyakit yang sering terjadi adalah jamur yang menyebabkan pembusukan stek. Penanggulangannya dilakukan dengan cara penyemprotan fungisida. Adapun hama yang sering menyerang adalah bekicot/siput. Serangan hama ini sangat merugikan karena merusak jaringan kulit batang stek dan memakan jaringan muda. Penanggulangannya dapat dilakukan secara manual dengan cara menangkap dan membuang bekicot yang berada disekitar bedengan atau dengan menggunakan bahan obat pembasmi bekicot.
  3. Biasanya pada bulan kedua stek sudah berakar, maka secara perlahan-lahan naungan pada bedengan dikurangi dan sungkup sering dibuka secara periodik agar bibit dapat menyesuaikan dengan kondisi lingkungan.
  4. Pada bulan ketiga stek pucuk sudah bisa disapih kedalam polibag berisi media campuran antara tanah, kompos atau pupuk kandang agar stek dapat berkembang lebih baik.
Gambar 3. Bibit stek pucuk sukun umur 2 bulan (kiri) dan 4 bulan (kanan)
  1. Pemupukan bibit dilakukan satu bulan setelah penyapihan. Pupuk yang diberikan berupa NPK dengan dosis 1 gram per polibag. Pemupukan dapat diulang lagi 1 bulan kemudian dengan dosis yang sama.
  2. Seleksi bibit siap tanam dilakukan pada waktu bibit telah berumur lebih dari 6 bulan. Umumnya bibit sukun ditanam setelah 6-8 bulan dengan tinggi bibit rata-rata 30 – 40 cm dengan diameter batang rata-rata 1 cm.

IV. PENUTUP

Penyediaam bibit sukun untuk bahan penanaman dapat dilakukan dengan menggunakan teknik stek pucuk. Cara ini sangat potensial untuk dikembangkan oleh para produsen bibit sukun karena cukup mudah pelaksanaannya dan dapat menggunakan fasilitas pembibitan sederhana dengan tingkat keberhasilan tumbuh yang relatif tinggi. Pembuatan stek pucuk sukun dapat memanfaatkan tunas-tunas pada stek akar atau trubusan pada tanaman pangkasan.

DAFTAR PUSTAKA
Adinugraha, H.A., N.K. Kartikawati dan Suwandi. 2004. Penggunaan Trubusan Stek Akar Tanaman Sukun Sebagai Bahan Stek Pucuk. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol. 1 No.1 (2004). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Yogyakarta
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Badan Litbang Kehutanan. Depsrtemen Kehutanan RI. Jakarta
Longmann, K.A. 1993. Rooting Cutting of Tropical Trees. Propagation and Planting Manuals. Commonwealth Science Council. Pp – 137.
Pitojo, S. 1992. Budidaya Sukun. Kanisius. Yogyakarta.
Ragone, D. 1997. Breadfruit : Artocarpus altilis (Parkinson) Fosberg. Promoting the conservation and used of underutilize and neglected crops. 10. International Plant Genetic Resources Institute. Rome, Italy.
Rajendran, R. 1992. Arthocarpus altilis (Parkinson) Fosberg in PROSEA: Plant Resources of South-East Asia 2. Edible fruits and nuts. Bogor, Indonesia. pp 83-86.
Setiadi, D. dan H.A. Adinugraha. 2005. Pengaruh Tinggi Pangkasan Induk Terhadap Kemampuan Bertunas Tanaman Sukun Pada Kebun Pangkas. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol. 2 No. 3, Oktober 2005, halaman 109-116. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Yogyakarta
Widowati, S. 2003. Prospek Tepung Sukun Untuk Berbagai Produk Makanan Olahan Dalam Upaya Menunjang Diversifikasi Pangan. http://tumotou.net/70207134/sri_widowati. htm, diakses pada tanggal 28 Nopember 2006.

Seri Pembibitan Tanaman Hutan Secara Vegetatif: TEKNIK STEK AKAR TANAMAN SUKUN

Hamdan Adma Adinugraha1 dan Suwandi2

1) Balai Besar Pengujian Standar Instrumen Kehutanan (BBPSIK) Yogyakarta

2) Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau (BBKSDA RIAU

I. PENDAHULUAN

Jenis tanaman sukun (Artocarpus altilis) merupakan salah satu jenis tanaman dari marga Moraceae yang bernilai ekonomi karena buahnya memiliki kandungan gizi yangh tinggi sebagai saumber komoditas pangan. Kandungan karbohidrat pada buah sukun tidak jauh berbeda dengan beras sehingga potensial untuk dikembangkan sebagai bahan makanan pokok alternatif bagai masyarakat (Widowati, 2003). Pemanfaatan buah sukun sebagai sumber bahan makanan pokok telah banyak dikembangkan di beberapa negara di kawasan Pasifik seperti Hawaii, Tahiti, Fiji dan lain-lain (Ragone, 1997). Selain itu sebarannya yang sangat luas di Kepulauan Indonesia maka pengembangan tanaman sukun dapat memberikan peran yang penting untuk mendukung program ketahanan pangan nasional.

Untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas buah sukun diperlukan upaya penggunaan bibit yang berkualitas yang berasal dari pohon-pohon induk yang memiliki sifat unggul. Dikarenakan sifat tanaman sukun yang tidak memiliki biji dalam buahnya (partinocarpy) maka pembibitannya dilakukan secara vegetatif. Secara tradisional masyarakat menaman sukun dengan memanfaatkan anakan alami yang berupa trubusan pada akar sukun (root sucker) atau mencangkoknya (Heyne, 1987; Pitojo, 1992; Ragone, 1997). Akan tetapi cara tersebut menghasilkan bahan tanaman yang sangat terbatas jumlahnya. Cara yang sudah banyak dilakukan oleh petani bibit sukun adalah dengan teknik stek akar yang dapat menghasilkan bibit dalam jumlah yang cukup banyak. Namun demikian masih diperlukan pengembangan teknik pembibitan tersebut untuk meningkatkan produktifitasnya.

II.PEMBUATAN STEK AKAR SUKUN

A. Penyiapan Bedengan Pembibitan

Kegiatan pembibitan stek akar sukun diawali dengan penyiapan bedengan pembibitan di persemaian. bedengan tersebut terdiri atas media tanam berupa tanah atau pasir sungai dalam polybag berukuran diameter ± 10 cm yang disusun dalam bedengan kemudian ditutup dengan sungkup plastik yang berfungsi untuk menjaga kelembaban udara (sekitar 80%) selama pembibitan. Bedengan persemaian juga sebaiknya diberi naungan paranet dengan intensitas cahaya ± 50-55%. Penggunaan media pasir dapat membantu mengurangi serangan jamur pathogen yang menyebabkan pembusukan stek akar dibandingkan dengan media tanah. Akan tetapi untuk meningkatkan pertumbuhan bibit selanjutnya harus dilakukan penyapihan  ke media pertumbuhan berupa campuran tanah, pasir dan kompos dengan perbadningan 3:1:1. Tahapan pembibitan yang dilakukan selanjutnya sesuai alur kegiatan pembibitan pada Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1. Tahapan pembibitan sukun dengan cara stek akar

B. Pengambilan Bahan Tanaman

Penyiapan bahan stek akar sukun dimulai dengan pemilihan pohon induk sukun yaitu pohon dewasa yang sehat dan produktif menghasilkan buah dengan ukuran buah yang relatif besar dan enak rasanya.  Pohon tersebut juga telah beradaptasi cukup lama di tempat tumbuhnya  dan telah berumur minimal 10 tahun (Adinugraha, 2009). Tahap selanjutnya dilakukan pengambilan akar dengan cara menggali akar yang tumbuh menjalar dan nampak pada permukaan tanah sehingga tidak akan mengganggu pertumbuhan tanaman trersebut. Dari setiap pohon induk dapat diambil 10-20 sampel akar yang panjangnya rata-rata ± 50 cm dan diikat serta diberi label identitas pohon induknya. Setelah selesai tanah berkas galian ditutup kembali dengan tanah. Hasil koleksi akar selanjutnya di bawa ke lokasi pembibitan untuk ditanam pada media yang sudah disiapkan sebelumnya (Adinugraha et al, 2004)  

C. Pembuatan Stek Akar

Akar yang dikoleksi dari lapangan selanjutnya dipotong menjadi beberapa stek akar yang panjangnya  ± 10-15 cm. Untuk memudahkan dalam penanaman stek akar bagian ujung/jaringan yang lebih muda dipotong miring agak meruncing.  Stek akar yang baik untuk ditanam memiliki ukuran diameter 1-3 cm. Akar yang berdiameter lebih besar dari 3 cm dapat dibelah menjadi 2 stek akar, tetapi biasanya kemampuan tumbuhnya lebih rendah dibandingkan stek yang utuh. Setiap potongan stek akar selanjutnya dibersihkan tanah yang menempel dengan cara dicuci dalam air yang sebelumya telah dilarutkan  zat pengatur tumbuh akar seperti root up, rapid root atau rhizatun sebanyak ±1-2 gram dalam 1 ember air (Gambar 1). Setelah bersih stek akar ditiriskan dan siap ditanam pada media di bedengan pembibitan.

D. Penanaman Stek Akar

Penanaman stek akar diawali dengan membuat lubang tanam pada media agar stek mudah ditanam dan tidak merusak jaringan kulit stek akar. Penanaman stek akar dilakukan dengan posisi tegak lurus dengan kedalaman sekitar ½ bagian stek akar tertanam pada media (Gambar 1). Setelah semua stek akar ditanam segera dilakukan penyiraman secara merata sampai cukup lembab dan kemudian sungkup plastik ditutup rapat sehingga nampak bedengan mengembun yang artinya bedengan memiliki kelembaban udara yang tinggi yaitu lebih dari 80%. Penanaman stek akar dengan posisi tegak dapat menghasilkan tunas lebih banyak dibandingkan penanaman dengan posisi miring atau tidur.

III. PEMELIHARAAN BIBIT

Pertumbuhan stek akar biasanya mulai tampak setelah berumur 2 minggu setelah tanam yang ditandai dengan munculnya tunas-tunas baru. Biasanya pada satu stek akar akan menumbuhkan beberapa titik tumbuh tunas atau mata tunas yaitu rata-rata 1-5 mata tunas, bahkan pada stek akar yang diameternya semkitar 3 cm dapat menumbuhkan lebih dari 10 mata tunas dan pada satu mata tunas rata-rata memiliki 1-2 tunas baru. Untuk menjaga agar pertumbuhan stek akar berlangsung dengan baik maka harus dilakukan pemeliharaan bibit secara periodik sebagai berikut:

  1. Penyiraman rutin minimal satu kali sehari pada waktu pagi atau sore hari.
  2. Pada umur 3 bulan, stek akar sudah tumbuh dengan baik baik pertunasan maupun perakarannya, maka secara bertahap sungkup dibuka agar bibit stek akar dapat beradaptasi dengan kondisi udara tempat terbuka. Setelah bibit mampu beradaptasi dengan baik yang ditandai dengan kondisi bibit tetap segar/tidak layu setelah sungkup dibuka seluruhnya, maka dapat dilakukan penyaphan bibit ke media pertumbuhan yang telah disipkan sebelumya.
  3. Pembersihan gulma perlu dilakukan baik yang tumbuh pada media dalam polybag maupun disekitar bedengan.
  4. Pemupukan bibit stek akar dilakukan setelah disapih ke media pertumbuhan umumnya menggunakan pupuk NPK dengan dosis 1-2 gram per polibag.
  5. Selama pembibitan berlangsung biasanya terjadi gangguan hama serangga pemakan daun dan siput/bekicot pemakan tunas-tunas muda. Oleh karena itu penting dilakukan pemberantasan secara periodik baiksecara manual untuk mencegah kerusakan bibit yang parah, dengan cara menangkap jenis hama pengganggu  yang ditemukan. Jenis gangguan lainnya yang sring terjadui adalah penyakit layau semai/lodoh yang disebabkan jamur maka apabila terjadi gejala serangan bibit yang terkena penyakit dibuang dan dilakukan penyemprotan fungisida semingu sekali.

Pada Gambar 2 disajikan hasil pembibitan stek akar dari beberapa lokasi asal pengambilan akar di Indonesia. Persentase hidup stek akar pada masing-masing populasi cukup bervariasi mulai 45,2-90%. Stek akar  dari populasi 10 yaitu dari Yogyakarta menunjukkan persentase hidup terbaik yaitu 90% dan terendah dari populasi 1 dari Banyuwangi yaitu hanya 45,2% (Adinugraha, 2009). Perbedaan populasi berpengaruh terhadap waktu yang diperlukan mulai kegiatan pengambilan materi akar dan pengangkutan dari lokasi pohon induk sampai di persemaian. Lamanya waktu yang diperlukan untuk pengangkutan materi dari lapangan sampai di persemaian dapat mempengaruhi kesegaran dan vigoritas akar sehingga teknik pengepakan akar yang baik sangat penting diperhatikan.

Gambar 2. Diagram persentase hidup stek akar dari beberapa lokasi asal pohon induk
      (1. Manokwari, 2. Sorong, 3. Bone, 4. Malino, 5. Lampung, 6. Bali, 7. Mataram,
      8. Cilacap, 9. Banyuwangi  dan 10. Yogyakarta)

IV. PENUTUP

Pembibitan tanaman sukun dengan teknik stek akar banyak dilakukan oleh masyarakat karena relatif mudah dalam pelaksanaanya dan dapat memanfaatkan fasilitas pembibitan yang sederhana dan murah. Namun demikian dengan cara ini dapat dihasilkan bibit dalam jumlah yang relatif banyak. Dengan pengembangan teknik pembibitan yang baik mulai dari pemilihan pohon induk, pengambilan akar, penyiapan bedengan pembibitan, pembuatan dan penanaman stek akar dapat diperoleh persentase hidup stek akar mencapai 90%.

DAFTAR PUSTAKA

Adinugraha, H.A. 2009. Optimalisasi Produksi Bibit Sukun (Artocarpus altilis [Park.] Fosber) dengan Kombinasi Stek Akar dan Stek Pucuk. Tesis S2. Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Adinugraha, HA., Setiadi, D., Kartikawati, NK., Prastyono, Syakur, A., Marlan dan Suwandi. Pembangunan uji klon sukun. Laporan Tahunan Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta. Tidak dipublikasikan.

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan RI. Jakarta.

Pitoyo S. 1992. Pembibitan Tanaman Sukun. Kanisius. Jogjakarta.

Ragone, D. 1997. Breadfruit. Artocarpus altilis (Parkinson) Fosberg. Promoting the Conservation and use of under-utilized and neglected crops. Institute of Plant Genetics and Crop Plant Research, International Plant Genetic Resources Institute, Rome, Italy.

PENGARUH ROOTONE F TERHADAP KEBERHASILAN TUMBUH STEK PUCUK Acacia aulacocarpa

Hamdan Adma Adinugraha dan Sugeng Pudjiono

I. PENDAHULUAN

Acacia aulacocarpa adalah salah satu jenis tanaman dari marga Acacia yang penyebaran alaminya di sekitar bagian utara dan timur laut Australia, bagian selatan Papua New Guinea pada derajat lintang 6-31o LS. Tempat tumbuhnya mulai dari dekat pantai sampai ketinggian 950 m dpl. Jenis ini dikelompokkan menjadi 5 (A-E) subspecies menurut daerah sebarannya. Di Indonesia terdapat sub spesies B yang tumbuh alami di bagian tengara Irian Jaya pada lintang 6-10oLS dan elevasi 10-60 mdpl baik berupa tegakan murni maupun berasosiasi dengan jenis Acacia lain seperti A. crassicarpa, A. leptocarpa dan A.mangium (Thompson , 1994).

Pembibitan jenis ini umumnya dengan menggunakan biji atau generatif sedangkan cara vegetatif belum banyak dilalukan. Penelitian perbanyakan vegetatif jenis ini masih terbatas. Dilaporkan bahwa di Fiji te;ah dilakukan uji coba pencangkokan tanaman yang berumur lebih dari 3 tahun yang menunjukkan kevberhasi;an berakar stee;ah 8 minggu untuk sub spesies B. dialporkan pula uji coba pemangkasan yang menunjukkan kemampuan bertunas yang cukup baik pada ketinggian lebih dari 50cm dari permukaan tanah (Thompson, 1994).

Uji coba stek pucuk jenis ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan tumbuh stek pucuk menggunakan bahan stek dari tanaman muda di persemaian dengan aplikasi zat pengatur tumbuh untuk memacu perakarannya. Diharapkan dengan penelitian akan diperoleh informasi teknik perbanyakan strek pucuk yang tepat dan dapat dilakukan dengan mudah.

II. BAHAN DAN METODE

A. Bahan

Bahan yang dipergunakan adalah bagian pucuk tanaman A. aulacocarpa yang berumur sekitar 2 tahun di perseamian Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan  di Sleman Yogyakarta. Panjag stek rata-rata 5 cm dan memiliki 2 internode dan mmeiliki satu helai daunyang dipotong 2/3 bagiannya. Media stek yang digunakan adalah vermikulit dalam wadah pot plastik. Wadah  tersebut kemudian disuusun dalam bedengan yang

dititup dengan sungkup plastik untuk memelihara kelembaban udara yang tinggi (> 80%). Sebelum ditanam bagian pangkal stek dicelupkan kedalam Rootone F dengan konsetrasi berbeda.

B. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengap dengan perlakuan konsentrasi Rootone F yang terdiri atas 3 taraf yaitu kontrol/tanpa pemberian ZPT, larutan Rootone F konsentrasi 50% dan Rootone konsentrasi100% (tidak dilarutkan). Setiapperlakuan menggunakan 8 stek pucuk dan diulang sebanyak 5 kali sehingga jumlahunit pengamatan seluruhnya 120 stek pucuk. Pengamatan dilakukan pada karakter persentase hidup stek, persentase stek bertunas stek berakar dengan metode pengamatan keberhasilan stek menurut Lukman & Sofyan (2000).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada umur 2 bulan stek pucuk A. aulacocarpa telah memperlihatkan pertumbuhan tunas maupun akarnya. Dari pengamatan diketahui bahwa pertumbuhan akar lebih awal dibandingkan dengan tunasnya. Hasilserupa dilaporkan oleh Akbar (1991) pada jenis A.mangium yaitu sekitar umur 4 minggu. Hasil pengamatan selengkapnya disajikan pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Pertumbuhan stek pucuk A.aulacocarpa pada umur 2 bulan

Hasil tersebut menunjukkan kemampuan tumbuh stek pucuk yang cukup tinggi, dengan rata-rata persentase hidup, bertunas dan berakar lebih dari 60% meskipun tidak diberikan penambahan ZPT untuk memacu perakaraj stek. Hal ini disebabkan oleh bahan stek yang digunakan berasal dari anakan/tanaman muda sebagaimana dijelaskan oleh Hartman et al, (1990) bahwa bahan stek dari tanaman muda memiliki kemampuan berakar lebih baik dari tunas  pada tanaman yang sudah dewasa. Pudjiono & Kondo (1996) melaporkan pula bahwa persentase hidup stek pucuk A.mangium dari tanaman muda dapat mencapaui 70,50% sedangkan dari

pucuk tanaman dewasa hanya 5%. Demikian pula Siagian (1997) melaporkan hasil serupa pada jenis Shorea. Dari tabel tersebut juga diketahui bahwa pemberian ZPT dapat meningkatan pertumbuhannya. Sejalan dengan penjelasan Longman (1993) bahwa pemberian ZPT dapat menyebabkan stek pucuk berakar lebih cepat dan lebih banyak.

Tabel 2. Analisis sidik ragam pertumbuhan stek pucuk A. aulacocarpa umur 2 bulan

Hasil analisis sidik ragam pada Tabel 2 menunjukkan bahwa pemberian ZPT berupa Rootone F tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap keberhasilan tumbuh stek pucuk A. aulacocarpa. Namun demikian karena dapat meningkatkan persentase hidup,bertunas dan berakar stek pucuk maka penggunaan ZPT tetap perlu diperhatikan terutama apabila menggunakan bahan stek pucuk yang diperoleh dari tanaman yang lebih tua umurnya. Selain itu untuk meningkatkan keberhasilan tumbuh stek pucuk maka faktor lain seperti media, suhu dan kelembaban udara serta intensitas cahaya tempat pembibitan sangat penting untuk diperhatikan. Kelembaban udara harus lebih dari 80% dan suhunya kurang dari 30oC (Kijkar, 1991) . intensitas cahaya yang baik untuk bedengan sungkup sekitar 15-25% dan untuk bedengan dengan system pengabutan 30-50% (Longman, 1990). Pada bedengan sungkup tnpa pengabutan sangatperlu dilakukan penyiraman dengan menggunakan sprayer halus untuk mencegah kehilangan air dari daun stek (Hartman et al, 1990).

IV. KESIMPULAN

Pembibitan A. aulacocarpa dapat dilakukan secara vegetatif dengan menggunakan teknik stek pucuk menggunakan bahan stek dari tanaman mudadi persemaian. Keberhasilan tumbuh stek pucuk pada umur 2 bulan menunjukkan persentase hidup yang baik yaitu berkisar 67,50-80,00%. Penambahan ZPT berupa Rootone F dapat meningkatkan keberhasi;an tumbuh stek pucuk meskipun tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan.

Sitasi: Adinugraha, H.A. & Pudjiono, S. (2001). Pengaruh Rootone F Terhadap Keberhasilan Stek Pucuk Acacia aulacocarpa. Buletin Penelitian Pemuliaan Pohon Volume 5 No. 1, halaman 1-7

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, A. (1993). Pemilihan bahan stek dan media tumbuh untuk pembiakan vegetatif Acacia mangium. Duta Rimba Edisi 155-156, halaman 33-39.

Hartman, H.T., D.E. Kester & Davies.  (1990). Plant Propagation principles and practices. Fifth edition. Prentice Hall Inc. Englewood Cliuffs. New Jersey.

Kijkar, S. (1991). Producing rooted cuttings of Eucalyptus camaldulensis. Hand Book. ASEAN-Canada Forest Tree Seed Centre Project. Thailand

Longmann, K.A. (1990). Rooting cuttings of Tropical Trees: Propagating and plantings manual volume1. Commonwealth Science Council. London

Lukman, A.H. & Sofytan, A. (2000). Percobaan stek damar mata kucing (Shorea javanica K&V) dari beberapa tingkat umur bibit. Buletin Teknologi Reboisasi BTR Palembang no. 10/2000, halaman 27-38

Pudjiono, S.& Kondo, H. (1996). Technical report for cuttings propagation of Eucalyptus deglupta, Eucalyptus pellita, Acacaia mengium and Paraserirnthes falcataria. Forest Tree Improvement Project (FTIP) no. 55. BPPPBTH Yogyakarta.

Siagian, Y.T. (1997). Pemiakan Shorea leprosula Miq. dengan stek pucuk. Buletin Penelitian Pemuliaan Pohon Volume 1 No. 1, halaman 1-14

Thompson, L.A.J. (1994). Acacia aulacocarpa, Acaia cincinata, Acacia crassicarpa and Acacia wetarensis. Austra;ian Tree Seed Center. Canberra.

STIMULASI PERTUNASAN POHON PLUS JENIS EUCALYPTUS  DI KEBUN BENIH DENGAN TEKNIK PELUKAAN BATANG

Hamdan Adma Adinugraha dan Budi Leksono

Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

I. PENDAHULUAN

Eucalyptus pellita adalah salah satu jenis yang banyak dikembangkan sebagai tanaman HTI di Indonesia. Sebaran alami jenis ini terdapat di Australia, Papua Nugini dan Indonesia.pengembagan HTI tanaman ini banyak dilakukan di wilayah Sumatera dan Kalimantan yang menunjukkan perumbuhan yang baik pada sifat bentuk batang, kecepatan tumbuh, kualitas kayu yang baik dan memiliki kemampuan bertunas tinngi (Leksono, 2000). Pembibitan jenis ini dapat dilakukan baik secara generatf maupun vegetatif.

Salah satu kendala dalam perbanyakan pohon plus secara vegetatif adalah umur pohon yang sudah cukup dewasa/tua setelah melalui serangkaian tahapan kegiatan seleksi. Secara umum semakin bertambah umur pohon maka kemampuannya diperbanyak secara vegetatif akan menurun (Hartmann & Kester, 1990). Oleh karena itu diperlukan teknik rejuvenasi atau permudaan dalam rangka mendapatkan tunas-tunas baru yang bisa dimanfaatkan untuk bahan perbanyakan vegetatif baik untuk scion maupun stek pucuk. Salah satu teknik yang dapat dilakukan adalah pelukaan batang  atau girdling.

II. BAHAN DAN METODE

A. lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kebu Benif F1 jensi Eucalyptus pellita yang dibangun di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) yang terdapat di Alas Ketu, Wonogiri, Jawa Tengah. Kondisi umu lokasi penelitian memiliki tipe iklim A menurut Schmidt-Ferguson, curah hujan 1878 mm/tahun, suhu rata-rata 21-28o C dan ketinggi tempat dari permukaan laut 141 mdpl.

B. Bahan dan Alat

Bahan tanaman yang digunakan adalah pohonn plus Eucalyptus pellita sebanyak 50 pohon yang terdiri atas 40 pohon plus E.pellita murni dan 10 pohon yang diduga hasil hybrid berdasarkan penampilan morfologi  batang dan daunnya. Bahan lain dan peralatan yang digunakan yaitu peta tanamanb, pita label, meteran, gunting stek, parang, gergaji, pisau dan lain-lain.

C. Prosedur

Pemilihan dan penandaan pohon plus yang akan diberi perlakuan pelukaan batang sesuai dengan petan pohon plus hasil kegiatan seleksi

Pembersihan semak-semak di sekitar pohon lus tersebut untuk memudahkan pelaksanaan kegiatan pelukaan batang dan pengamatannya serta mengurangi gangguan terhadap pertumbuhan tunasnya

Pelukaan batang dengan bentuk setengah cincin sebanyak 2 buah yang posisinya silang berhadapan. Pelukaan dilakukan dengan mengupas kulit batang yang lebarnya sekitar 10 cm. jarak antara kedua luka batang sekitar 5 cm. bagian kambium pada permukaan batang dibersihkan sampai kering untuk menghindarkan penutupan kembali yang cepat. Tingi pelukaan batang sekitar 1 m dari permukaan tanah. Pengamatan pertumbuhan tunas dan pemeliharan semak di sekitar pohon plus

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pembuatan Girdling

Hasil kegiatan girdling setelah 2 bulan pengamatan di[eroleh 49 pohon plus menghasilkan tunas barau/trubusan dengan jumlah tunas rata-rata 12,7  yang panjangnya rata-rata 28,7 cm dan diameter rata-rata 5,76 mm. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1. Hasil girdling pada pohon plus E. pellita di kebun benih Wonogiri

UlanganJumlah pohonTinggi pohon (m)Diameter batang (cm)Jumlah tunasPanjang tunas (cm)Diameter tunas (mm)
11024,0617,9414,229,586,05
21024,4117,2312,227,315,95
31023,0416,8310,327,065,12
41022,4616,529,429,245,66
51022,9721,9117,230,336,01
Rerata5023,3918,0912,728,795,76

Tabel 2. Tren pertumbuhan tunas menurut tinggi pohon

Tinggi pohon (m)Jumlah pohonTinggi pohon rata-rata (m)Jumlah tunasPanjang tunas (cm)Diameter tunas (mm)  
20 – 21220,811,530,255,85
21 – 22621,510,229,435,70
22 – 231222,711,130,485,81
23 – 241423,413,426,905,29
24 – 251624,314,229,126,22
25 – 26425,414,527,555,55
26 – 27126,715,030,308,50
27 – 28127,313,024,105,30

Tabel 3. Tren pertumbuhan tunas menurut diameter batang pohon

Kelas diameter (cm)Jumlah pohonTinggi pohon rata-rata (m)Jumlah tunasPanjang tunas (cm)Diameter tunas (mm)
14 – 16715,408,329,815,77
16 – 182316,8410,927,565,47
18 – 201218,9914,729,216,04
20 – 22121,2213,027,805,40
22 – 24722,8719,330,616,24

Pada tahun berikutnya dilakukan girdling kembali dan membersihkan dan memperbaiki luka batang lama (kegiatan sebelumnya) dan membuat girdling brau pada 40 pohon baru dengan menggunakan teknik yang sama. Hasil pengamatan selam 3 bulan diketahui ada penurunan pertumbuhan tunas pada 50 pohon yang sebelumnya sudah di girdling yaitu hanya 23 pohon (57,5%) dengan jumlah tunas rata-rata 15,7 yang panjangnya rata-rata 65,28 cm. Adapun hasil pengamatan pertunasan pada 40 pohon baru diperoleh 32 pohon bertunas (80%) dengan jumlah tunas rata-rata 8,25 yang panjangnya rata-rata 63,31 cm.

B. Pertumbuhan Tunas

Kegiatan rejuvenasi pohon E. pellita dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu penebangan (felling), perebahan batang (partian felling) dan pelukaan batang (girdling). Kemampuan tanaman menghasilkan tunas/trubusan dipengaruhi oleh beberapa faktor  (Kijkar 1991) sebagai berikut:

  1. Umur tanaman semakin tua umumnya kemampuan menghasilkan tunas akan berkurang
  2. Ukuran pohon yang lebih besar  dan dominan akan menghasilkan tunas lebih banyak dibandinglan dengan pohon yang lebih kecil
  3. Tinggi pangkasan yang semakin tinggi atau semakin jauh dari permukaan tanah akan menurunkan kemampuan bertunasnya
  4. Kondisi lingkungan seperti tingkat kesuburan tanah, ketersediaan air dan tingkat kelembaban udara
  5. Jarak terhadap tanaman yang lain akan mepengaruhi naungan terhadap intensitas cahaya matahari yang diperoleh tanaman. Tanaman yang memperoleh cahaya yang cukup dapat menghasilkan tunas lebih banyak
  6. Waktu/musim hujan akan menghasilkan pertumbuhan tunas lebih baik
  7. Stimulasi pertunasan dengan penambahan ZPT untuk memmacu pertumbuhan tunas seperti BAP (Hendrati et al, 1997).

C. Pemanfaatan Trubusan

Pemanfaatan tunas/trubusan dapat digunakan untuk perbanyakan tanaman dengan teknik stek pucuk maupun sebagai scion pada perbanyakan dengan teknik sambungan/okulasi. Pemanfaatan tunas untuk bahan stek pucuk sebaiknya dipilih yang panjangnya 30-40 cm atau telah berumur sekitar 2 bulan (Longmann, 1993). Hasil pengamatan pada pembuatan sambungan jenis E. pellita diperoleh bahwa tunas hasil pelukaan batang dapat digunakan sebagai scion dengan tingkat keberhasilan tumbuh mencapai 70-83,33% (Adinugraha & Sunarti, 2004) sebagaimana disajikan pada Tabel 4 dibawah ini.

Tabel 4. Hasil sambungan jenis E. pellita di persemaian

Pemberian naunganAsal scionPersentase hidup pada setiap ulangan (%)JumlahRerata
123456
Tanpa naunganTajuk6060401008010044073,33
Trubusan6060401006010042070,00
Naungan paranet 65%Tajuk804060100806042070,00
Trubusan40601001001008050083,33

IV. KESIMPULAN

Penggunaan teknik rejuvenasi diperlukan untuk mendapatlan bahan tanaman yang bersifat juvenil sebagai materi untuk kegiatan perbanyakan vegetative. Teknik rejuvenasi yang dapat dialkukan untuk jenis  E. pellita adalah teknik pemangkasan, perebahan dan pelukaan batang. Penerapan teknik pelukaan batang dapat dikembangkan untuk jenis ini terutama pada pohon induk hasil seleksi di kebun uji keturunan, karena dengan  cara ini tidak perlu dilakukan penebangan yang menyebabkan resiko hilangnya pohon tersebut.

SITIRAN

Adinugraha, H.A. & Leksono, B. 2003. Stimulasi Pertunasan Pohon Plus Eukalyptus Di Kebun Benih Dengan Teknik Pelukaan Batang. Informasi Teknis Vol. 3 no. 1/ Juni 2005, halaman 33-39

DAFTAR PUSTAKA

Adinugraha, HA. & Sunarti, S. 2004. Pengaruh Naungan dan Asal Scion Terhadap pertumbuhan sambungan jenis Eucalyptus pellita. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman vol 1 no. 1

Hartmann, HT., Kester, DE & Davies. 1990. Plan Propagation Priciples and Practices. Englewood Cliffs New Jersey 07632

Hendrati, RL., Siagian YT. & Pudjiono, S. 1997. Pemeliharaan sambungan Eucalyprus deglupta dengan perlakuan jumlah mata tunas dan Pemupukan. Buletin Penelitian Pemuliaan Pohon vol 2 no 1.

Kijkar, S. 1991. Producing Rooted cutiings of Eucalyptus camaldulensis. ASEAN tree seed centre project. Thailand.

Leksono, B. Potensi Eulayptus pellita untuk pembangunan huta tanaman indsusti  (HTI). Makalah simp[osium nasional dan kongres IV Peripi P3BPTH Yogyakarta Longmann, KA. 1993. Rooted Cutrtings of Tropical; Species. Tropical Trees Propagationb dan Planting Manual  Vol 1. Commontwelth Science Council. London.

PENGEMBANGAN PRODUKSI BIBIT TANAMAN KAYU PUTIH (Melaleuca cajuputi) DENGAN TEKNIK STEK PUCUK

Hamdan Adma Adinugraha, Y. Togu Siagian, Hidayat Moko dan Suwandi

Pusat Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

ABSTRACT

Melaleuca cajuputi is one of the forest tree species which has important role for land rehabilitation and essential oil industry used for medicine and cosmetics. The operational plantation of this species by seed from mother trees. Some experiences on vegetative propagation indicate a good rooting ability of cuttings taken from roots, new sprouts after felling and rejuvemation activities by soaked branches/roots method. A good result of rooting percentage  showed by leafy cuttings test using new sprouts from soaked branches in the water 94-62% with rhizatun treatment, 37,5-57,5% with rootone F treatments and sprouts from hedging plants (11-95%).

Key Words: leafy cuttings, mass productin, Melaleuca cajupuputi, planting stocks

  1. PENDAHULUAN

Tanaman kayu putih (Melaleuca cajuputi) merupakan salah satu jenis tanaman yang sudah lama dikembangakan di Indonesia terutama di Pulau Jawa. Pertanaman kayu putih tersebar di Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur yang dikelola oleh Perhutani atau Dinas Kehutanan (Rimbawanto, 2000). Pembibitan tanaman kayu putih umumnya dilakukan secara generatif namun dapat juga dilakukan secara vegetatif dengan teknik stek akar, stek pucuk dan cangkok (Siagian et al,  2000). Hasil-hasil penelitian dalam rangka konservasi genetik pohon-pohon induk terpilih di lapangan menunjukkan bahwa tanaman kayu putih dapat diperbanyak secara stek pucuk menggunakan trubusan/tunas-tunas baru dari hasil rejuvenasi dengan cara perendaman cabang dan akar tanaman kayu putih yang telah tua (Siagian & Adinugraha, 2001).

Pengembangan teknik pembibitan tanaman kayu putih mempunyai peran penting untuk menghasilkan keturunan/anakan yang identic dengan induknya sehingga kinerja sifat unggul yang dimiliki pohon ninduk akan terulang secara konsisten pada keturunannya (Schmidt, 1993; Na’iem, 2000) dan memiliki pertumbuhan yang relatif seragam. Demikian pulahasilnya dapat dimanfaatkan untuk keperluan pengembangan bank klon atau kebun benih klon (Khan, 1994).

  1. TEKNIK PERBANYAKAN VEGETATIF TANAMAN KAYU PUTIH

Cara-cara perbanyakan tanaman kayu putih dapat dilakukan dengan penerapan teknik-teknik pembib itan sebagai berikut:

  1. Stek Akar

Perbanyakan stek akar dilakukan dengan memanfaatkan bagian tanaman kayu putih yaitu akar yang telah dipisahkan dari pohon induknya kemudian diusahakan untukm menumbuhkan tunas aksiler pada media tumbuh di persemaian sampai tunas tersebut berakar sebagai bibit sebelum dipincahkan ke lapangan. Cara pembuatan stek akar dilakukan dengan memotong akar sepanjang 15 cm kemudian ditanam pada media pasir dalam bedengan persemaian atau media tanah dicampur kompos dalam kantong plastic. Setelah tumbuh tunasdan akar setel;ah berumur 2 bulan, kemudian disapih dan ditanam pada media tanh. Untuk memelihara kelembaban udara maka bedengan ditutp sungkup plastic bening sebelum dipindahkan ke persemaian/lapangan. Tingkat kleberhasilan tumbuh stek akar rata-rata 37,30% (Siagian et al, 2000).

Keberhasilan stek akar dipengaruhi oleh banyak factor baik faktor internal seperti jenis tanaman, jenis bahan stek yang digunakan, umur tanaman dan faktor luar seperti kondisi lngkungan (suhu, kelembaban, intensitas cahaya), pelaksana dan pearalatan perbanyakan yang digunakan. Stek dari tanaman yang lebih muda akan lebih mudah diperbanyak dan lebih cepat berakar (Hartmann & Kester, 1986). Untuk pertumbuhan stek diperlukan kondisi suhu dan kelembaban udara yang optimum yaitu sekitar 20-30oC dan kelembaban 80% (Kijkar, 1991).

  • Cangkok

Pencangkokan kayu putih dilakukan dengan menggunakan media campuran tanah dan kompos dengan pembungkus cangkok menggunakan plastic/polybag hitam. Selanjutnya dipilih cabang yang akan dicangkok kemudian disayat kulitnya sepanjang 6-8 cm dan dibersihkan semua lapisan kulitnya serta bagian kambiumnya. Bagian sayatan selanjunya ditutup media cangkok yang sudah disiram air sampai lembab dan dibungkus dengan plastic. Pencangkokan sebaiknya dilakukan pada waktu musim hujan sehingga media tidak mudah kering dan tidak perlu disirami. Kerberhasilan pencangkokan tanaman kayu putih yang dilakukan rata-rata 25,83% (Siagian et al, 2000).

  • Stek Pucuk

Perbanyakan stek pucuk  tanaman kayu putih dilakukan dengan cara mengambil tunas muda/trubusan kemudian dipotong menjadi beberapa stek yang panjangnya 8-10 cm. Bagian daunnya stek dikurang 2/3 bagian dengan menggunakan gunting stek.  Media stek yang digunakan dapat berupa pasir sungai, serbuk sabut kelapa, perlite dan vermiculite. Bagian pangkal stek dicelupkan ke dalam larutan ZPT (misalnya rootone F dan rhizatun) sebelum ditanam. Penyetekan dilakukan dalam bedengan yang ditutp sungkup plastic utnuk memelihara kelembaban udaranya. Stelah berumur 2 bulan, biasanya stek pucuk sudah dapat disapih ke medua pertumbuhan yaitu campuran tanah dan kompos (3:1) di bedengan persemaian terbuka/tanpa sungkup namun diberi naungan paranet dengan intensitas cahaya 55-65% (Siagian et al, 2000).

  1. HASIL PERBANYAKAN STEK PUCUK TANAMAN KAYU PUTIH
  2. Rejuvensi Tanaman Kayu Putih

Bahan perbanyakan vegetative dengan teknik stek pucuk  diperlukan tunas-tunas muda atau juvenil karena menurut Hartman & Kester (1986) tunas-tunas muda memiliki kemampuan tumbuh dan berakar lebih baik darpi pada jaringan tanaman yang sudah tua. Siagian (1997) juga melaporkan bahwa bertambahnya umur tanaman dapat menurunkan kemampuan tanaman perbanyakan stek pucuk tanaman tersebut. Hasil ujicoba perendaman cabang dan akar tanaman kayu putih menunjukkan keberhasilan bertunas sekitar 63,46% dan 65,38% seperti disajikan pada Tabel 1.

Table 1. Pertumbuhan tunas dengan teknik perendaman cabang dan akar kayu putih

Individu pohon indukCabang tanaman deawsaAkar tanaman dewasa
Jumlah cabangJumlah cabang bertunasJumlah tunasJumlah akarJmlah akar bertunasJumlah tunas
101046652010468492

Sumber: (Siagian et al, 2000)

  • Stek Pucuk Tanaman Kayu Putih

Hasil uji coba stek pucuk yang dilakukan di Pusat Litbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan dengan memanfaatkan tunas/rubusan hasil peerndaman cabang menunjukkan

Bahwa teknik pembibitan tanaman kayu putih dapat dikembangkan dengan cara vegetative. Tingkat keberhasilan tumbuh stek pucuk berkisar antara 20-80% (rata-rata 47,88%). Adapun pertumbuhan stek pucuk dari trubusan tanaman pangkasan (tonggak) rata-rata dapat mencapai 3,33-100% (rata-rata 52,76%) sebagaimana disajikan pada Tabel 2 dan Tabel 3 di bawah ini.

Table 2. Pertumbuhan stek pucuk tanaman kayu putih dari tunas hasil perendaman cabang

Lokasi Asal bahan stekPohon indukJumlah stekJumlah stek tumbuhPersentase tumbuh (%)Tinggi Tunas rata-rata (cm)
Ponorogo51506845,3313,28
Gundih72108339,5215,38
Gunungkidul515010167,3314,44
Cikampek51506342,0015,10

Sumber: Siagian et al (2000)

Table 3. Pertumbuhan stek pucuk dari trubusan tanaman pangkasan (tonggak)

Individu pohon indukJumkah Stek segarJumlah stek hidupJumlah stek matiJumlah stek bertunasPersentase bertunas (%)
1554640614028852,76%

Sumber: Siagian et al (2000)

Keberhasilan tumbuh stek pucuk tanaman kayu putih menunjukkan adanya variasi yang dapat disebabkan oleh banyak faktor seperti faktor perlakuan stek dan faktor genetic pohon induk yang digunakan (Kantarli, 1993), umur trubusan yang dijadikan bahan stek (Kijkar, 1991) serta adanya serangan jamur pathogen yang menyebabkan pembusukan stek (Soonhuae & Limpiyaprapant, 1990) serta pengaturan suhu dan kelembaban udara tempata pembibitan (Kijkar, 1991).

  1. PENUTUP

Perbanyakan tanaman kayu putih dapat dilakukan secara vegetative dengan menggunakan stek pucuk dengan tingkat keberhasilan maksimal 80% apabila menggunkan trubusan hasil rendaman cabang dan 100% apabila menngunakan trubusan pada tanaman hasil pangkasan (tonggak). Hasil tersebut menunjukkan bahwa pembibitan tanaman kayu putih dapat dikembangkan dengan cara vegetative baik untuk keperluan pembvangunan uji klon, bank klon, kebun benih klon maupun untuk operasional penanaman.

SITIRAN:  Adinugraha, H.A., Siagian, Y.T., H. Moko & Suwandi. 2003. Pengembangan Produksi Bibit Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi) dengan Teknik Stek Pucuk. Wana Benih Vol. 4 no. 1/Juni 2003 halaman 19-25.

DAFTAR PUSTAKA

Siagian, Y.T., S. Pudjiono, Mahfudz, H.A. Adinugraha, P. Widiantara dan Suwandi. Perbanyakan bibit Unggul Dengan Teknik Pembiakan vegetative Makro Jenis Kayu Putih. Laporan Tahunan DIK-S DR tahun Anmggaran 2000. Tidak dipublikasikan.

Hartman, H.T. & D.E. Kester. 1986. Plant Propagation Principles and Practices. Prentice Hall Inc. Englewood Cliffs, New Jersey.

Kantarli, M. 1993. Vegetative Propagation of Dipterocarpaceae by Cuttingsd in ASEAN Region. ASEAN Forest Tree Seed Center Project. Thailand.

Khan, M. 1994. Proceedings National Training Course on Tree Breeding and Propagation. Fakistan Forest Institute. FAO Losbanos Phillipina.

Kijkar, S. 1991. Producing Rootede Cuttings of Eucalyptus camaldulensis. ASEAN Forest Tree Seed Center Project. Thailand

Na’iem, M. 2000. Prospek Perhutnan Klon Jati di Indonesia. Prosiding Seminar National Status Silvikultur di Indonesia Saat Ini. Wanagama Fakultas Kehutatan UGM. Yogyakarta.

Rimbawanto. 2000. Strategi |Pemuliaan Tanbaman Melaleuca cajuputi sub sp. Cajuputi di Jawa. Makalah Pelatihan Pemuliaan Pohon. BP3BTH Yogyakarta.

Schmidt. 1993. Vegetative Propagation Guidelines on grafting, air layering and cuttings. FORTIP Manual no. 5 (RAS/91/004) College. Laguna 4031 Phillipines

Siagian, Y.T. 1997. Pembiakan vegetative Shorea leprosula dengan stek pucuk. Buletin Penelitian Pemuliaan Pohon vol. 2 no. 1. BP3BTH Yogyakarta

Soonhuae., P. & Limpiyaprapant. 1996. Rooting cuttings of Dipterocarpus alatus Roxb. And Shorea Roxburghii in non mist propagation. ASEAN Forest Tree Seed Center Project. Thailand

JAMBU METE (Anacardium occidentale)  

JAMBU METE (Anacardium occidentale)  

Gambar Profil tanaman jambu mede (sumber: Jensen, M., 1999)

Klasifikasi :

Kerajaan          : Plantae

Divisio            : Dicotyledonae

Kelas               : Angiospermae

Ordo                : Sapindales

Famili             : Anacardiaceae

Genus              : Anacardium

Jenis                : Anacardium occidentale L.

Sinonim : Cassurium reniforme

Nama umum: Cashew (English); svaay chantii (Cambodia); jambu monyet, jambu mede (Indonesia); Gajus, jambu monyet (Malaysia); thiho thayet si (Myanmar); kasoy, balubad, balogo (Phillipna); mamuang himmaphan, yaruang, mamuang letlor (Thailand); dào lôn hôt, cay diêù (Vietnam).

Ciri utama: Habitus berupa pohon kecil, lebar mahkota berbentuk kubah, cabang bengkok rendah, halus kulit coklat, bulat telur terbalik sederhana besar, hijau gelap bersinar daun dengan pelepah menonjol dan pembuluh darah, buah yang sangat khas memiliki biji di bagian bawah/ujung buahnya.

Deskripsi: Termasuk jenis yang tumbuh hijau sepanjang tahun (evergreen), tingginya mencapai   12 m,  dengan mahkota berbentuk kubah. Percabangan dimulai pada 0,5-1,5 m di atas tanah. Kulit halus dan coklat. Daun  alternatif, pada batang panjang 1-2 cm, bulat telur untuk telur terbalik-lonjong, sampai 20 × 15 cm, kasar, merah-coklat ketika muda, kemudian bersinar hijau, halus, dengan pelepah menonjol dan pembuluh darah. Bunga berdiri terminal, terkulai malai, hingga 25 cm panjang dengan bunga yang harum dengan 5 kelopak, panjang 7-13 mm dan 5 sepal, panjang 4-15 mm. bunga jantan dengan 7-9 benang sari, bunga hermafrodit biasanya dengan 9 pendek dan 1 benang sari layak panjang. Pertama keputihan akan beralih merah muda-merah. “Nyata” buah berbentuk kacang ginjal sekitar 3 × 1,2 cm duduk di banyak bunga yang membesar dan membengkak tangkai-apel mete buah-seperti, yang berbentuk buah pir, 10-20 cm × 4-8 cm dan merah ke kuning

Pemanfaatan: Kacang digunakan sebagai makanan utama atau kelezatan tergantung pada ketersediaan . Apel mete dimakan segar, dicampur dalam salad buah atau dibuat menjadi jus . kulit biji dan cangkang digunakan sebagai pakan unggas . minyak yang berharga dapat diekstraksi dari shell . kayu yang digunakan sebagai bahan bakar atau kayu kualitas rendah . Mete juga mengandung tanin dan gusi . Tunas muda dan daun dimakan mentah sebagai lalapan atau dimasak . Semua bagian pohon yang digunakan dalam pengobatan tradisional , terutama untuk mengobati penyakit kulit .
Ekologi: Membutuhkan suhu yang panas, memiliki curah hujan  rata-rata 1000-2000 mm/tahun  dengan 4-6 bulan kering. Jenis ini  mentolerir kondisi lahan yang kering asalkan  akar memiliki akses ke air tanah. Namun demikian  paling cocok untuk pertumbuhan tanaman jambu mete yaitu tanah berpasir, tanah lempung berpasir, dan tanah ringan berpasir dengan pH sekitar 6,3-7,3 dan dapat tetap hidup pada pH 5,5-6,3. 
Distribusi: Dari Brazil asli diperkenalkan di sebagian besar daerah tropis . Di wilayah ini dilaporkan dari semua negara kecuali Laos. Sebaran tanaman jambu mede di Indonesia dilaporkan tersebar  luas di banyak provinsi  terutama di Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah dan Jawa Barat. 
Pustaka Rujukan: Hensleigh & Holaway (1988), Verheij & Coronel (1992).

Diterjemahkan dari Jensen, M. 1999. Trees Commonly Cultivated in South East Asia.  An  Illustrated Field Guide. RAP Publication: 1999/13. FAO.

Pampaning Bitik (Fagaceae) Lithocarpus sp.

Ciri-ciri umum:

  • Pohon berukuran kecil sampai sedang dengan ketinggian mencapai 15 m
  • Kulit pohon berwarna abu-abu hingga kecoklatan
  • Pohon terkadang memiliki akar tunjang
  • Tidak bergetah
  • Buah muda berwarna hijau muda dan jika masak berwarna coklat dengan biji seperti kacang
  • Terdapat satu biji dalam satu buah
  • Daun bertekstur keras dan

cukup lebarSumber : Thomas, A. 2014. Panduan Lapangan Identifikasi Jenis Pohon Hutan. Kalimantan Forests and Climate Partnership (KFCP)

POHON
KULIT POHON
BUNGA
BUAH

Nyatu Gagas (Palaquium cochleariifolium)

(Sapotaceae) Palaquium cochleariifolium P.Royen

Ciri-ciri umum:

• Pohon berukuran sedang dengan tinggi mencapai 25 m atau lebih
• Getahnya berwarna putih
• Buah berbentuk bulat telur sampai bulat sungsang
• Buah mentah berwarna hijau muda dan jika masak berwarna hijau kekuningan
• Biji berbentuk silindris dan runcing di bagian pangkal dan ujungnya
• Daun besar dan tebal banyak menumpuk pada ujung tangkai  

SEMAI
DAUN
KECAMBAH
BIJI
BUAH

Sumber : Thomas, A. 2014. Panduan Lapangan Identifikasi Jenis Pohon Hutan. Kalimantan Forests and Climate Partnership (KFCP)

Matan Undang

(Phyllanthaceae) Antidesma montanum Blume

Ciri-ciri umum:

• Ketinggian pohon mencapai 1-5 m atau lebih
• Tidak bergetah
• Bunga berwarna kuning keputihan
• Buah berwarna merah kehitaman jika masak
• Buah berbentuk berry kecil berdaging dengan biji keras
• Tata daun berseberangan dan bentuk daun bergelombang

 Sumber : Thomas, A. 2014. Panduan Lapangan Identifikasi Jenis Pohon Hutan. Kalimantan Forests and Climate Partnership (KFCP)

POHON
DAUN
BUNGA
BUAH MUDA
ANAKAN

Meranti Tembaga/Lanan

(Dipterocarpaceae) Shorea smithiana Symington.

Ciri-ciri umum:

  • Pohon berukuran sedang sampai besar, dengan tinggi pohon mencapai 45 m dan diameter batang mencapai 125 cm
  • Pohon memiliki akar papan (buttress root) yang mencapai 3 m
  • Getah berwarna kekuningan bening, jika kering seperti damar
  • Buah besar dengan sayap berukuran 1 x 8 cm
  • Daun cenderung lebih besar dan pertulangannya lebih jelas

Sumber : Thomas, A. 2014. Panduan Lapangan Identifikasi Jenis Pohon Hutan. Kalimantan Forests and Climate Partnership (KFCP)

POHON

KULIT BATANG

DAUN

Meranti Bitik

(Dipterocarpaceae) Shorea sp.

Ciri-ciri umum:

  • Pohon berukuran sedang sampai besar dengan ketinggian mencapai 40 m dan diameter batang mencapai 90 cm
  • Pohon memiliki akar papan (buttress root) yang mencapai 3 m
  • Getah berwarna kekuningan bening dan jika kering seperti damar
  • Buah besar dengan panjang sayap berukuran 1 x 8 cm
  • Daun memanjang runcing di bagian ujung

Sumber : Thomas, A. 2014. Panduan Lapangan Identifikasi Jenis Pohon Hutan. Kalimantan Forests and Climate Partnership (KFCP)

POHON TUA
POHON MUDA
DAUN
GETAH KERING

Manggis Hutan

(Clusiaceae) Garcinia sp. 2

Ciri-ciri umum:

  • Pohon berukuran sedang dengan tinggi antara 10-15 m atau lebih
  • Kulit batang berwarna coklat kehitaman dan bertekstur kasar
  • Getah berwarna kuning lembut
  • Buah berbentuk bulat dengan jumlah biji 6-8
  • Buah muda berwarna hijau dan kekuning-kuningan pada saat masak
  • Tata daun berhadapan sederhana

Sumber : Thomas, A. 2014. Panduan Lapangan Identifikasi Jenis Pohon Hutan. Kalimantan Forests and Climate Partnership (KFCP)

POHON MANGGIS HUTAN
BUAH MANGGIS HUTAN
BIJI MANGGIS HUTAN
ANAKAN MANGGIS HUTAN

Mandarahan Daun Besar/Kayu Kumpang

(Myristicaceae) Horsfieldia crassifolia (Hook.F. & Thomson) Warb.

Ciri-ciri umum:

  • Pohon berukuran kecil sampai sedang, dengan ketinggian mencapai 15-20 m
  • Memiliki akar tunjang dan kulit dalam yang berwarna merah
  • Getah berwarna merah cair
  • Bunga berwarna kekuningan dan bergerombol
  • Buah berbentuk ovoid (bulat memanjang), buah masak berwarna kuning dan terbagi dua bagian jika pecah
  • Biji berbentuk lonjong memanjang dengan daging buah berwarna kuning dan kemerah-merahan. Jika dibelah, bagian dalam biji seperti biji pinang.
  • Daun cukup besar dengan serbuk yang menempel pada bagian bawah daun

Sumber : Thomas, A. 2014. Panduan Lapangan Identifikasi Jenis Pohon Hutan. Kalimantan Forests and Climate Partnership (KFCP)

POHON

DAUN

BUNGA

BUAH MASAK

Malam-Malam/Tutup Kabali

(Ebenaceae) Diospyros areolata King & Gamble

Ciri-ciri umum:

  • Ketinggian pohon dapat mencapai 40 m atau lebih
  • Kulit pohon kasar dan berwarna kehitam-hitaman
  • Tidak bergetah
  • Buah berbentuk bulat dengan 6-10 biji di dalam, berwarna kuning kecoklatan jika masak
  • Daging buah lembut dan biji memanjang sepanjang 2 x 3 cm
  • Tekstur daun kecil dan tebal

POHON

DAUN

BUAH

BIJI

KECAMBAH

ANAKAN

Sumber : Thomas, A. 2014. Panduan Lapangan Identifikasi Jenis Pohon Hutan. Kalimantan Forests and Climate Partnership (KFCP)

Mahang

(Euphorbiaceae) Macaranga pruinosa
(Miq.) Müll. Arg.

 

Ciri-ciri umum:

  • Pohon berukuran sedang dengantinggi mencapai 25 m atau lebih
  • Kayu lunak dan tidak berbanir(akar papan)
  • Kulit pohon berwarna putihsampai keabu-abuan dancukup tipis
  • Buah berbentuk kapsul danberwarna hijau kekuningan
  • Daun permukaan berwarna hijau,bagian bawahnya putih danterbagi menjadi tiga bagian

POHON

BATANG

DAUN

BUNGA

Sumber : Thomas, A. 2014. Panduan Lapangan Identifikasi Jenis Pohon Hutan. Kalimantan Forests and Climate Partnership (KFCP)